BAB 7 SEJARAH PERTEMPURAN DAN PERJANJIAN



PERTEMPURAN SURABAYA
      Mendaratnya pasukan sekutu dan NICA : Pada  tanggal25 Oktober 1945
      Pimpinan Pasukan : - Sekutu : Jenderal A. W. S. Mallaby
                                          - Indonesia : Gubernur Surabaya saat itu, Suryo Sutomo 
                                                               (Bung Tomo)
 Terjadinya Pertempuran :
            Dimulai pada 26 Oktober oleh tenteara sekutu yang menyerang penjara  Kalisosok dan menduduki pangkalan udara dan kantor pos besar. Dalam     satu insiden Mallaby tewas. Sekutu memberikan ultimatum untuk        menyerahkan senjata. Namun, tidak diikuti oleh para pejuang.             Puncaknya terjadi pada tanggal 10 November, sekutu membombardir         Surabaya.
Hasil Pertempuran :
Surabaya berhasil dipertahankan selama 3 minggu, tetapi pada akhirnya   pejuang Jawa Timur harus mundur ke luar kota dan bergerilya.
PERTEMPURAN AMBARAWA
          Mendaratnya  Pasukan Sekutu dan NICA : Pada 20 Oktober 1945
          Pimpinan Pasukan : Sekutu : Jenderal bethel   TKR : Mayor Sumarto, Kolonel Isdiman, dan Kolonel Sudirman
          Terjadinya Pertempuran :
            Penyerangan pertama terjadi pada 20 November 1945. Setelah Kolonel    Isdiman        gugur, pimpinan digantikan oleh Kolonel Sudirman dan          memulai         penyerangan pada 12 Desember 1945. Penyerangan    berlangsung selama 4 hari.
          Hasil Pertempuran :
                  Ambarawa berhasil dikuasai oleh TKR.
PERISTIWA BANDUNG LAUTAN API
          Mendaratnya Pasukan Sekutu dan NICA : Pada Bulan Oktober 1945
          Terjadinya Pertempuran :
            Pada 21 November, sekutu mengeluarkan ultimatum agar TKR        menyerahkan senjata, dan meninggalkan Bandung. Akan tetapi,pemerintah  pusat melarang pasukan meninggalkan tempat.
          Hasil Pertempuran :
            Bandung ditinggalkan oleh TKR karena terdesak oleh pasukan sekutu.      Bandung Selatan dibumihanguskan dengan cara melakukan pembakaran di     beberapa tempat strategis.
PERTEMPURAN MEDAN
          Mendaratnya Pasukan Sekutu dan NICA : Pada tanggal 9 Oktober 1945
          Pimpinan Pasukan : Sekutu : Brigadir Jenderal T. E. D. Kelly
          Terjadinya Pertempuran :
             Insiden pertama terjadi pada 13 Oktober 1945 di sebuah hotel di Jalan      Bali. Selanjutnya, pertempuran terjadi di berbagai tempat di Medan.        Pada 18 Oktober 1945, sekutu mengeluarkan ultimatum agar pasukan I   ndonesia menyerahkan senjata.
          Hasil Pertempuran :
            Karena terdesak oleh tentara Sekutu, kantor gubernur dan markas TKR     dipindahkan ke Pematang Siantar. Hal itu menyebabkan Medan dikuasai       oleh pasukan Sekutu.
PERTEMPURAN PALEMBANG
           Mendaratnya Pasukan Sekutu dan NICA : Pada 12 Oktober 1945
          Pimpinan Pasukan : Sekutu : Letnan Kolonel Cramichael
          Terjadinya Pertempuran :
            Pasukan Sekutu diperbolehkan memasuki daerah Palembang kemudian   diganti oleh Pasukan Belanda. Hal itu menimbulkan pertempuran sengit antara Belanda dan Indonesia. Peristiwa itu terjadi pada 1             Januari 1947. Pertempuran berlangsung selama 5 hari 5 malam. Pada 6           Januari 1947, diadakan genjatan senjata.
          Hasil Pertempuran :
             Hasil dari gencatan senjata itu adalah bahwa pasukan Indonesia harus     mundur sejauh 20 kilometer dari kota Palembang. Dengan kata lain,        pasukan Belanda dapat menguasai kota Palembang
AGRESI MILITER I
            Pada tanggal 21 Juli 1947, tengah malam, Belanda mengeluarkan serangan ke seluruh daerah di Republik Indonesia. Operasi yang diberi label “aksi polisional” itu sebenarnya adalah sebuah agresi militer yang dikenal sebagai Agresi Militer I. Pasukan – pasukan Belanda bergerak dari Jakarta dan Bandung untuk menguasai Jawa Barat dari Surabaya untuk menguasai Madura dan Jawa Timur serta pasukan lagi untuk menduduki Semaraang. Di Sumatra, pasukan Belanda berusaha menguasai perkenunan di sekitar daerah Medan.
            Pada 29 Juli 1947, ketiga pesawat yang berpangkalan di Maguwo Yogyakarta ini, terlibat pertempuran di Ambarawa. Mereka ikut mengebom kedudukan musuh di Ambarawa, Salatiga dan Semarang. Para Penerbang dan awak pesawak yang menjadi anggota tim ini antara lain Suharmoko Harbani, Sutardjo Sigit, Mulyono, dan tiga orang penembak (gunner), yaitu Sutardjo, Kaput, dan Abdul Rachman.
AGRESI MILITER II
            Pada 18 Desember 1948 malam, Dr. Beel memberitahukan kepada delegasi RI dan komisi Tiga Negara bahwa Belanda tidak lagi terikat dan tidak mengakui persetujuan Renville. Keesokan harinya, Belanda melancarkan agresi militer yang kedua kalinya. Sasaran Belanda langsung ditujukan untuk menguasai ibu kota RI di Yogyakarta. Dengan taktik perang kilat, Belanda juga menyerang wilayah RI lainnya. Aksi militer Belanda ini telah menarik perhatian dunia internasional. KTN yang mendapat tugas mengawasi pelaksanaan Persutujan Renville mengetahui bahwa Belanda telah melanggar persetujuan tersebut.
            Amerika Serikat mengeluarkan resolusi yang disetujui oleh semua anggota sidang Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa – Bangsa (DK-PBB) pada 28 Januari 1949. Amerika Serikat juga mengancam akan menghentikan bantuan kepada Belanda, seperti yang termuat dalam Marshall Plan (bantuan Amerika Serikat kepada negara – negara yang menderita akibat Perang Dunia III)
Masa Pemerintahan
 Kabinet Syahrir
            Selain mempermasalahkan peningkatan kesejahteraan rakyat, program kerja Kabinet Syahrir juga memprioritaskan penanganan konflik dengan Belanda. Pada saat itu, status Indonesia beralih dari wewenang Jepang menjadi wewenang Sekutu. Kabinet Syahrir berkuasa selama 3 kali. Pada masa Kabinet Syahrir II yang dibentuk pada 2 Oktober 1946, strategi diplomasi diwujudkan melalui pelaksanaan Perundingan Linggarjati pada 10 November 1946. Kelompok – kelompok yang menolak keputusan Perundingan Linggarjati sebagai hasil strategi diplomasi Kabinet Syahrir tergabung dalam Benteng Republik Indonesia. Kelompok ini merupakan penyatuan dari Masyumi, PNI, Partai Wanita, Angkatan Comunis Muda (Acoma), Partai Rakyat Indonesia, Laskar Rakyat Jawa Barat, dan Partai Rakyat Jelata
Masa Pemerintahan
Kabinet Amir Syarifuddin
ž  Kabinet Amir Syarifuddin merupakan penerus dari pemerintahan Kabinet Sjahrir.Strategi diplomasi yang paling menonjol pada masa kabinet Amir Syarifuddin adalah dilaksanakannya Perundingan Rnville pada 17 januari 1948.Konflik antarkelompok politik di dalam Kabinet Amir Syarifuddin juga terjadi seperti pada masa Kabinet Sjahrir.Konflik ini tidak berupa konflik fisik,tetapi berupa perbedaan strategi dalam menghadapi Belanda.Misalnya,pada saat pengantian kabinet,Amir Syarifuddin bermaksud memperkuat posisi kabinetnya terhadap Belanda,sehingga ia menyepakati hasil perundingan Renville.Sikap Amir Syarifuddin itu mendapat tentangan dari partai-partai politik lain.Salah satu partai politik yang menentang kebijakan itu adalah Masyumi.
ž  Masyumi berpendapat bahwa Amir Syarifuddin terlalu mudah menerima ultimatum dari pihak Belanda tentang 12 prinsip politik dan 6 tambahan dari Komisi Tiga Negara.Masyumi,yang memegang mayoritas kursi di dalam kabinet,menarik seluruh anggotanya dari Kabinet Amir Syarifuddin.PNI pun mengikuti Masyumi dengan memberikan tuntutan agar Kabinet Amir Syarifuddin memberikan mandatnya kembali kepada Presiden Soekarno.Dalam rapat Dewan Partai pada 18 januari 1948,PNI memutuskan untuk menolak hasil Perundingan Renville karena hasil persetujuan tersebut tidak memberikan posisi jaminan yang tegas terhadap posisi Republik Indonesia.Perbedaan strategi antarkelompok politik di dalam Kabinet Amir Syarifuddin ini berakhir dengan penyerahan mandat kembali kepada Presiden Soekarno pada 23 januari 1948
Masa Pemerintahan Kabinet Hatta
            Wakil presiden Moh. Hatta ditunjuk oleh presiden Soekarno untuk membentuk kabinet baru, menggantikan Kabinet Amir Syarifuddin. Bentuk kabinet yang disusun oleh Hatta adalah kabinet koalisi yang menyertakan seluruh kelompok politik yang ada di Indonesia pada waktu itu. Kabinet ini didukung sepenuhnya oleh partai Masyumi, PNI, Partai Katolik, dan Parkindo. Kelompok sayap kiri diwakili oleh Soepeno yang menjabat sebagai menteri Pembangunan dan Pemuda. Walaupun demikian, masih terdapat kelompok yang berseberangan dengan kabinet Hatta. Kelompok tersebut adalah PKI, yang pada akhirnya melakukan pemberontakan di Madiun pada bulan September 1948 .
            Konferensi Roem-Royen pada tanggal 7 Mei 1949 merupakan hasil dari strategi diplomasi Moh. Roem di dunia Internasional. Strategi diplomasi tersebut berujung pada pelaksanaan Konferensi Meja Bundar yang menjadi momentum penyerahan kedaulatan wilayah Indonesia dari Belanda ke Indonesia. Meskipun bentuk kedaulatanIndonesia yang diakui oleh Indonesia masih berupa Republik Indonesia Serikat, Kabinet Hatta melalui perjuangan diplomasi Moh. Roem dan anggota delegasi lainnya, telah berhasil mencapai kemenangan diplomasi di dunia Internasional.
PERJANJIAN LINGGAJATI
            Hasil perundingan pada tanggal 7 Oktober 1946 dengan Delegasi Indonesia diketuai oleh PM. Sultan Sjahrir dan Belanda diwakili oleh Prof. Schermerhorn. Berikut adalah hasil perundingannya:
        Gencatan senjata diadakan atas dasar kedudukan militer pada saat itu dan tas dasar kekuatan militer kedua belah pihak.
        Dibentuk sebuah Komisi Gencatan Senjata untuk menangani masalah-masalah teknis pelaksanaan gencatan senjata.
            Hasil perundingan pada tanggal 15 November 1946 dengan dipimpin oleh Lord. Killearn. Berikut ini adalah hasil perundingannya:
         Belanda mengakui secara de facto wilayah Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang meliputi Jawa, Sumatera dan Madura. Selanjutnya, Belanda akan meninggalkan daerah de facto itu selambat-lambatnya pada 1 Januari 1949.
         RI dan Belanda akan bekerja sama dalam membentuk Negara Indonesia Serikat dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS).
         RIS dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya
PERJANJIAN RENVILLE
                  Proses perundingan Renville menemui jalan buntu. Pihak belanda tetap bersikeras pada tuntutannya mengenai batas sesuai dengan garis Van Mook. Tentu saja pihak RI menolak tuntutan tersebut.
                  Persetujuan Renville pada akhirnya ditandatangani pada 17 Januari 1948, disusul dengan instruksi penghentian tembak-menembak pada 19 Januari 1948. Akibat dari perjanjian Renville ini, wilayah RI semakin sempit dan kabinet Amir Syarifuddin di gantikan kabinet Hatta
Isi Perjanjian Renville :
      RI menyetujui dibentuknya Negara Indonesia Serikat
      Daerah RI yang diduduki Belanda setelah agresi tetap dikuasai Belanda sampai diselenggarakan plesbit menjajaki kehendak rakyat.
      RI bersedia menarik semua pasukan TNI yang berada di daerah pendudukan Belanda (kantong-kantong gerilya)
PERJANJIAN ROEM-ROYEN
            Atas inisiatif UNCI diadakan perundingan RI-Belanda yang dipimpin oleh Merle Cochran, wakil Amerika dalam UNCI. Perundingan diadakan di Jakarta mulai 14 April 1949. Delegasi RI dipimpin oleh Mr. Moehammad Roem dan pihak Belanda dipimpin oleh J.H. Van Royen. Pada 7 Mei 1949, dicapai Persetujuan Roem Royen.
Isi persetujuan itu menyatakan bahwa Indonesia bersedia untuk :
-             Mengeluarkan perintah untuk menghentikan perang gerilya;
-             Bekerja sama dalam mengambil perdamaian dan menjaga   ketertiban dan keamanan;
-    Berpartisipasi dalam KMB di Den Haag, Belanda,  dengan maksud mempercepat penyerahaan kedaulatan kepada Negara Indonesia Serikat tanpa syarat
KONFERENSI INTER-INDONESIA
            Sejak para pemimpin RI kembali ke Yogyakarta, perundingan dengan pihak BFO dilanjutkan kembali. Masalah yang dibahas adalah pembentukan pemerintah peralihan sebelum terbentuknya Negara Indoneisa Serikat.Oleh karena itu, antara tanggal 19-22 Juli 1949, diadakan perundingan dengan BFO di Yogyakarta, yang disebut Konferensi Inter-Indonesia.
Beberapa keputusan penting dari konferensi tersebut yang berkaitan dengan ketataan Negara Indonesia Seriakat adalah :
             Negara Indonesia serikat disetujui dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS) yang berdasrkan asas demokrasi dan federalisme.
             Kepala Negara RIS adalah seorang presiden dan dalam pemerintahan dibantu oleh sebuah cabinet yang bertanggung jawab kepada presiden            ( kabinet presidensial)
             Akan dibentuk dua badan perwakilan, yaitu sebuah dewan perwakilan rakyat dan sebuah dewan perwakilat rakyat ( senat ). Namun, langkah awal akan dibentuk dewan perwakilan rakyat sementara.
             RIS menerima penyerahan kedaulatan, baik dari Republik Indoneisa maupun dari Kerajaan Belanda.
KONFERENSI MEJA BUNDAR
            Konferensi Meja Bundar adalah sebuah pertemuan antara pemerintah Republik Indonesia dan Belanda yang dilaksanakan di Den Haag, Belanda dari 23 Agustus hingga 2 November 1949.
Hasil dari Konferensi Meja Bundar (KMB) adalah:
          Serahterima kedaulatan dari pemerintah kolonial Belanda kepada Republik Indonesia Serikat, kecuali Papua bagian barat. Indonesia ingin agar semua bekas daerah Hindia Belanda menjadi daerah Indonesia, sedangkan Belanda ingin menjadikan Papua bagian barat negara terpisah karena perbedaan etnis. Konferensi ditutup tanpa keputusan mengenai hal ini. Karena itu pasal 2 menyebutkan bahwa Papua bagian barat bukan bagian dari serahterima, dan bahwa masalah ini akan diselesaikan dalam waktu satu tahun.
          Dibentuknya sebuah persekutuan Belanda-Indonesia, dengan monarch Belanda sebagai kepala negara
          Pengambil alihan hutang Hindia Belanda oleh Republik Indonesia Serikat


1.) Kronologi Pertempuran Ambarawa
       Pada tanggal 11 Desember 1945, Kol. Soedirman mengadakan rapat dengan para Komandan Sektor TKR dan Laskar. Pada tanggal 12 Desember 1945 jam 04.30 pagi, serangan mulai dilancarkan. Pembukaan serangan dimulai dari tembakan mitraliur terlebih dahulu, kemudian disusul oleh penembak-penembak karaben. Pertempuran berkobar di Ambarawa. Satu setengah jam kemudian, jalan raya Semarang-Ambarawa dikuasai oleh kesatuan-kesatuan TKR. Pertempuran Ambarawa berlangsung sengit. Kol. Soedirman langsung memimpin pasukannya yang menggunakan taktik gelar supit urang, atau pengepungan rangkap dari kedua sisi sehingga musuh benar-benar terkurung. Suplai dan komunikasi dengan pasukan induknya diputus sama sekali. Setelah bertempur selama 4 hari, pada tanggal 15 Desember 1945 pertempuran berakhir dan Indonesia berhasil merebut Ambarawa dan Sekutu dibuat mundur ke Semarang.
Kemenangan pertempuran ini kini diabadikan dengan didirikannya Monumen Palagan Ambarawa dan diperingatinya Hari Jadi TNI Angkatan Darat atau Hari Juang Kartika.
2.) a. Perjanjian Linggarjati
Pelaksanaan hasil perundingan Linggarjati tidak berjalan mulus. Pada tanggal 20 Juli 1947Gubernur Jendral H.J. van Mook akhirnya menyatakan bahwa Belanda tidak terikat lagi dengan perjanjian ini, dan pada tanggal 21 Juli 1947, meletuslah Agresi Militer Belanda I. Hal ini merupakan akibat dari perbedaan penafsiran antara Indonesia dan Belanda.
b. Serangan ke Maguwo
Seiring dengan penyerangan terhadap bandar udara Maguwo, pagi hari tanggal 19 Desember 1948, WTM Beel berpidato di radio dan menyatakan, bahwa Belanda tidak lagi terikat dengan Persetujuan Renville. Penyerbuan terhadap semua wilayah Republik di Jawa dan Sumatera, termasuk serangan terhadap Ibukota RI, Yogyakarta, yang kemudian dikenal sebagai Agresi Militer Belanda II telah dimulai. Belanda konsisten dengan menamakan agresi militer ini sebagai "Aksi Polisional".
Penyerangan terhadap Ibukota Republik, diawali dengan pemboman atas lapangan terbang Maguwo, di pagi hari. Pukul 05.45 lapangan terbang Maguwo dihujani bom dan tembakan mitraliur oleh 5 pesawat Mustang dan 9 pesawat Kittyhawk. Pertahanan TNI di Maguwo hanya terdiri dari 150 orang pasukan pertahanan pangkalan udara dengan persenjataan yang sangat minim, yaitu beberapa senapan dan satu senapan anti pesawat 12,7. Senjata berat sedang dalam keadaan rusak. Pertahanan pangkalan hanya diperkuat dengan satu kompi TNI bersenjata lengkap. Pukul 06.45, 15 pesawat Dakota menerjunkan pasukan KST Belanda di atas Maguwo. Pertempuran merebut Maguwo hanya berlangsung sekitar 25 menit. Pukul 7.10 bandara Maguwo telah jatuh ke tangan pasukan Kapten Eekhout. Di pihak Republik tercatat 128 tentara tewas, sedangkan di pihak penyerang, tak satu pun jatuh korban.
3.) Kebijakan dalam menghadapi Belanda
a. Kabinet Sjahrir
         Menyempurnakan susunan Pemerintah Daerah berdasarkan kedaulatan Rakyat.
         Mencapai Koordinasi segala tenaga rakyat di dalam usaha menegakkan Negara Republik Indonesia serta pembangunan masyarakat yang berdasarkan keadilan dan peri-kemanusiaan.
         Berusaha untuk memperbaiki kemakmuran rakyat di antaranya dengan jalan pembagian pangan.
         Berusaha mempercepat keberesan tentang hal uang Republik Indonesia.
    b. Kabinet Amir Syarifuddin
Menyetujui Perjanjian Renville. Tapi, ditolak oleh Masyumi sehingga terjadi penyerahan mandat kembali kepada Presiden Soekarno pada 23 Januari 1948
    c. Kabinet Hatta
Pelaksanaan Peretujuan Renville dan mempercepat proses terbentuknya Negara Indonesia Serikat (NIS)
4.) Keadaan politik Indonesia pada masa pemerintahan Kabinet Hatta
     Kondisi politik di Indonesia pada saat itu tidak stabil di dalam negeri  akibat Pemberontakan Madiun 1948 dan Agresi Militer Belanda II (AMB II).
5.) Proses Perundingan Linggarjati
     Sebelum Perjanjian Linggarjati dilaksanakan, dilakukan terlebih dahulu perundingan pendahuluan. Namun, perundingan itu tidak menghasilkan keputusan yang berarti. Kemudian, dilaksanakan perundingan kedua pada 10 Februari 1946. Akan tetapi, perundingan ini tertunda hingga bulan April 1946 dan dilanjutkan di Belanda.
 Dalam perundingan ini, Belanda akan mengakui kedaulatan Republik Indonesia secara de facto atas Jawa dan Madura dan kembali pertemuan ini mengalami jalan buntu.
Pada 30 September 1946 diadakan perundingan gencatan senjata. Setelah perundingan itu, sejak 10 November 1946, diadakan perundingan baru yang bertempat di Linggajati (Cirebon).
6.) Keuntungan dari hasil Perundingan Renville
     Tidak, karena  menyebabkan wilayah RI jadi makin sempit.Hal ini diperparah lagi dengan blokade ekonomi terhadap RI.
7.) Peran KTN dalam Perundingan Renville
     Mengawasi pelaksanaan penghentian tembak-menembak dan mencari penyelesaian sengketa secara damai.

8.) Hasil Konferensi Inter-Indonesia
     a. Angkatan perang RIS adalah Angkatan perang Nasional dan presiden RIS adalah Panglima Tertinggi Angkatan Perang RIS. Pembentukan Angkatan Perang RIS ini merupakan soal Indonesia dan intinya adalah TNI

     b. Pertahanan negara adalah semata-mata hak pemerintah RIS. Negara-negara bagian tidak akan memiliki angkatan perang sendiri.

     c. Pembentukan angkatan perang RIS adalah persoalan bangsa Indonesia. Angkatan perang ini terdiri dari angkatan perang RI (TNI) sebagai inti, ditambah orang Indonesia yang ada dalam KNIL, ML, KM, VB, dan territoriale bataljons.

    d. Pada masa permulaan RIS, menteri pertahanan dapat merangkap sebagai Panglima Besar APRIS.
9.) Peran PBB
a. Membentuk KTN
b. Memperjuangkan diplomasi RI
c. Menyatakan revolusi agar permusuhan segera dihentikan

0 komentar: