Hukum Kepailitan

HUKUM Kepailitan
Pendahuluan
 Secara tata bahasa, kepailitan berarti segala hal yang berhubungan dengan “pailit”. Istilah “pailit” berasal dari bahasa Perancis “failliet” yang berarti pemogokan / kemacetan pembayaran. Dari uraian tersebut, maka dapat dikatakan bahwa Kepailitan merupakan segala hal yang berhubungan dengan kemacetan pembayaran, dimana seorang debitor mengalami kesulitan untuk membayar utangnya.
Pengertian Kepailitan
Di dalam Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang selanjutnya disebut UUK dan PKPU, telah dirumuskan pengertian kepailitan pada Pasal 1 angka 1 yaitu : kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
Pengertian Kepailitan
Henry Campbell Black (1968:186):

Arti orisinil dari bangkrut atau pailit adalah
       seorang pedagang yang bersembunyi atau
       melakukan tindakan tertentu yang cenderung
       untuk mengelabui pihak krediturnya.
Pengertian Kepailitan
Menurut A. Abdurrahman dalam Ensiklopedia Ekonomi Keuangan Perdagangan (1991:89):

 Pailit atau bangkrut, antara lain adalah orang
        yang oleh suatu pengadilan dinyatakan
        bankrupt dan yang aktivanya atau warisannya
        telah diperuntukkan untuk membayar hutang-
        hutangnya.
Syarat Pailit
Ketentuan Pasal 2 Ayat (1) UUK dan PKPU menentukan bahwa syarat untuk dapat dipailitkan adalah :

 debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor
        dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang
        yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih.
Syarat Pailit
Dari ketentuan tersebut di atas, maka dapat dilihat beberapa syarat agar debitor dapat dinyatakan pailit :
Adanya utang
Minimal satu dari utang sudah jatuh tempo
Minimal satu dari utang dapat ditagih
Adanya debitor
Adanya kreditor
Kreditor lebih dari Satu
Syarat Pailit
Pernyataan pailit dilakukan oleh pengadilan khusus yang disebut Pengadilan Niaga.
Permohonan pernyataan pailit diajukan oleh pihak yang berwenang, yaitu:
A. pihak debitur
B.  Satu atau lebih kreditor
C. Jaksa untuk kepentingan umum
D. Bank Indonesia jika debiturnya bank
E. Bapepam jika debiturnya perusahaan efek, bursa efek,
        lembaga kliring & penjaminan, serta lembaga
        penyimpanan & penyelesaian.
Syarat Pailit
F. Menteri Keuangan jika debiturnya perusahaan
      asuransi, reasuransi, dana pensiun dan BUMN
      yang bergerak di bidang kepentingan publik.
G. Syarat-syarat yuridis lainnya yang disebutkan
        sesuai UUK.
H. Bila syarat terpenuhi, hakim “menyatakan pailit”,
       bukan “dapat menyatakan pailit”.

Pihak-pihak yang Terlibat
Pihak-pihak yang terlibat dalam proses Perkara Kepailitan terdiri atas :
Pihak Pemohon Pailit
Pihak yang dapat dinyatakan Pailit
Pihak Debitor Pailit
Hakim Niaga
Hakim Pengawas
Panitia Kreditor
Kurator
a. Pihak Pemohon Pailit
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 UUK dan PKPU, permohonan pernyataan pailit dapat diajukan oleh :
debitor sendiri;
atas permintaan dua atau lebih kreditornya;
kejaksaan untuk kepentingan umum;
dalam hal debitor adalah bank, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia;
dalam hal debitor adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal;
dalam hal debitor adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan.
a. Pihak Pemohon Pailit
Mengenai Pihak debitor yang mengajukan permohonan pailit bagi dirinya sendiri, Arya Suyudi (2003:78) berpendapat bahwa : “Pada umumnya debitor beralasan bahwa dirinya ataupun kegiatan usahanya sudah tidak lagi mampu melaksanakan kewajiban-kewajiban internal ataupun eksternalnya secara ekonomi”.
Sedangkan mengenai Pihak Kejaksaan yang mengajukan permohonan pailit, Victor M. Situmorang, dan Hendri Soekarso (1994:49) memberikan pendapatnya sebagai berikut : “Pihak Kejaksaan dapat mengajukan permohonan kepailitan seorang debitor bilamana dipenuhi syarat-syarat adanya keadaan berhenti membayar dari yang bersangkutan dan berdasarkan alasan kepentingan umum”.
b. Pihak yang dapat dinyatakan Pailit
Pihak–pihak yang dapat dinyatakan pailit, terdiri atas :
Orang perorangan
Badan Hukum
Bukan Badan Hukum
Harta Peninggalan
c. Pihak Debitor Pailit
Menurut Munir Fuady (2005:36), Pihak Debitor adalah pihak yang dimohonkan pailit ke pengadilan yang berwenang. Kemudian di dalam UUK dan PKPU dalam ketentuan Pasal 1 membedakan pengertian antara debitor dan debitor pailit, yaitu bahwa debitor adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka pengadilan sedangkan debitor pailit adalah debitor yang sudah dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan.
Dasar Hukum Kepailitan
UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan
KUHPerdata, Pasal 1139, Pasal 1149, Pasal 1134, dll.
UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia
UU lain di bidang Pasar Modal, Perbankan, BUMN, PT, dsb.
d. Hakim Niaga
Pasal 302 UUK dan PKPU, menguraikan syarat-syarat untuk dapat diangkat sebagai Hakim Niaga adalah sebagai berikut :
Telah berpengalaman sebagai hakim dalam lingkungan pengadilan umum
Mempunyai dedikasi dan menguasai pengetahuan di bidang masalah-masalah yang menjadi lingkup kewenangan pengadilan niaga
Berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan tidak tercela
Telah berhasil menyelesaikan program pelatihan khusus sebagai hakim pada Pengadilan Niaga.
e. Hakim Pengawas
Menurut Pasal 65 UUK dan PKPU, Hakim Pengawas Berfungsi untuk mengawasi pengurusan dan pemberesan harta pailit. Keberadaan Hakim pengawas ini mutlak dalam penyelesaian kepailitan, karena seperti yang diatur dalam Pasal 66 UUK dan PKPU mengatakan bahwa Pengadilan wajib mendengar pendapat Hakim Pengawas, sebelum mengambil suatu putusan mengenai pengurusan atau pemberesan harta pailit. Dengan disebutkan wajib berarti menunjukkan pentingnya eksistensi Hakim Pengawas yang ditunjuk oleh Pengadilan untuk mengemban tugas tersebut.
f. Panitia Kreditor
Salah satu pihak dalam proses kepailitan adalah Panitia Kreditor, yang bertugas untuk mewakili pihak kreditor, sehingga panitia kreditor tentu akan memperjuangkan segala kepentingan hukum dari pihak kreditor.
UUK dan PKPU tidak mewajibkan diadakannya panitia kreditor, akan tetapi apabila kepentingan menghendaki (demi suksesnya pelaksanaan kepailitan), maka Pengadilan Niaga dapat membentuk panitia tersebut.



g. Kurator
Kurator merupakan salah satu pihak yang memegang peranan penting dalam suatu proses perkara pailit. Oleh karena peranannya yang besar dan tugasnya yang berat, maka hanya orang-orang tertentu yang memenuhi persyaratan menjadi kurator.
g. Kurator
Dalam ketentuan Pasal 1 angka 5 UUK dan PKPU mengatur bahwa yang dimaksud dengan kurator adalah Balai Harta Peninggalan atau orang-perseorangan yang diangkat oleh pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta debitor pailit di bawah pengawasan hakim pengawas sesuai dengan undang-undang ini.
g. Kurator
Pada Pasal 70 UUK dan PKPU menentukan bahwa yang dapat bertindak sebagai kurator adalah
Balai Harta Peninggalan
Kurator lainnya
orang perseorangan yang berdomisili di Indonesia, yang memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan dalam rangka mengurus dan/atau membereskan harta pailit; dan
terdaftar pada kementerian yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang hukum dan peraturan perundang-undangan.

g. Kurator
 Dalam penjelasan pasal ini disebutkan, yang dimaksud dengan keahlian khusus adalah mereka yang mengikuti dan lulus pendidikan Kurator dan pengurus. Yang dimaksud dengan terdaftar adalah telah memenuhi syarat-syarat sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan anggota aktif organisasi profesi Kurator dan pengurus.
g. Kurator
Ketentuan lebih lanjut tentang pendaftaran Kurator diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor M. 01. HT. 05.10 tahun 2005 Tentang Pendaftaran Kurator dan Pengurus. Dalam Peraturan Menteri ini dikemukakan, syarat untuk dapat didaftar sebagai Kurator dan Pengurus adalah :
Warga Negara Indonesia dan berdomisili di Indonesia
Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
Setia kepada Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Sarjana Hukum atau Sarjana Ekonomi Jurusan Akuntansi
Telah mengikuti pelatihan calon Kurator dan Pengurus yang diselenggarakan oleh organisasi profesi Kurator dan Pengurus bekerjasama dengan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan hukuman pidana 5 (lima) tahun atau lebih berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap
Tidak pernah dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga
Membayar Biaya Pendaftaran
Memiliki Keahlian Khusus

g. Kurator
Kurator diangkat oleh Pengadilan bersamaan dengan putusan permohonan pernyataan pailit. Dalam hal debitor atau kreditor yang memohonkan kepailitan tidak mengajukan usul pengangkatan kurator lain kepada pengadilan, maka Balai Harta Peninggalan bertindak selaku kurator.
Pengadilan Yang Berwenang
Setiap permohonan pernyataan pailit ini diajukan ke pengadilan yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum debitor dengan memperhatikan ketentuan Pasal 3 UUK dan PKPU, yang menentukan bahwa:
Putusan atas permohonan pernyataan pailit dan hal-hal lain yang berkaitan dan/atau diatur dalam Undang-undang ini, diputuskan oleh Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum Debitor
Dalam hal debitor telah meninggalkan wilayah Negara Republik Indonesia, Pengadilan yang berwenang menjatuhkan putusan atas permohonan pernyataan pailit adalah Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum terakhir debitor
Dalam hal Debitor adalah persero suatu firma, Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum firma tersebut juga berwenang memutuskan
Dalam hal debitor tidak berkedudukan di wilayah Negara Republik Indonesia tetapi menjalankan profesi atau usahanya di wilayah Negara Republik Indonesia, Pengadilan yang berwenang memutuskan adalah Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan atau kantor pusat Debitor menjalankan profesi atau usahanya di wilayah Negara Republik Indonesia.
Dalam hal Debitor merupakan Badan Hukum, tempat kedudukan hukumnya adalah sebagaimana dimaksud dalam anggaran dasarnya.
Pengadilan Yang Berwenang
Perkara Kepailitan ini diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Niaga yang merupakan bagian dari peradilan umum, dimana kompetensi pengadilan ini ditentukan dalam ketentuan Pasal 300 ayat (1) UUK dan PKPU bahwa : “pengadilan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini, selain memeriksa dan memutus permohonan pernyataan pailit dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, berwenang pula memeriksa dan memutus perkara lain di bidang perniagaan yang penetapannya dilakukan dengan undang-undang”.
Kreditor
Imran Nating (2004:28) mengelompokkan kreditor sebagai berikut :
Kreditor Separatis
Kreditor Preferen / Istimewa
Kreditor Konkuren / Bersaing
1. Kreditor Separatis
Kreditor separatis adalah kreditor pemegang hak jaminan kebendaan (gadai, hipotek, hak tanggungan, jaminan fidusia), yang dapat bertindak sendiri. Golongan kreditor ini tidak terkena akibat putusan pernyataan pailit debitor, artinya hak-hak eksekusi mereka tetap dapat dijalankan seperti tidak ada kepailitan debitor. Kreditor golongan ini dapat menjual sendiri barang-barang yang menjadi jaminan dan dari hasil penjualan tersebut, mereka mengambil sebesar piutangnya, sedang kalau ada sisanya disetorkan ke kas kurator sebagai boedel pailit. Sebaliknya bila hasil penjualan tersebut ternyata tidak mencukupi, kreditor tersebut untuk tagihan yang belum terbayar dapat memasukkan kekurangannya sebagai kreditor konkuren.   
2. Kreditor Preferen / Istimewa
Kreditor istimewa adalah kreditor yang karena sifat piutangnya mempunyai kedudukan istimewa dan mendapat hak untuk memperoleh pelunasan lebih dahulu dari penjualan harta pailit. Kreditor istimewa berada di bawah pemegang hak tanggungan dan gadai.
3. Kreditor Konkuren / Bersaing
Kreditor konkuren memiliki kedudukan yang sama dan berhak memperoleh hasil penjualan harta kekayaan debitor, baik yang telah ada maupun yang akan ada di kemudian hari, setelah sebelumnya dikurangi dengan kewajiban membayar piutang kepada kreditor pemegang hak jaminan dan para kreditor dengan hak istimewa secara proporsional menurut perbandingan besarnya piutang masing-masing kreditor konkuren tersebut.
Upaya-upaya Hukum
Ketentuan Pasal 11 ayat (1) UUK dan PKPU menentukan bahwa upaya hukum yang dapat diajukan terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit adalah kasasi ke Mahkamah Agung.
Selanjutnya Pasal 14 UUK dan PKPU menentukan bahwa terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dapat diajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.

Upaya-upaya Hukum
Dari kedua ketentuan di atas, dapat dilihat bahwa upaya hukum banding ditiadakan. Peniadaan upaya hukum banding ini dimaksudkan agar permohonan atas perkara kepailitan dapat diselesaikan dalam waktu cepat.
Putusan pernyataan pailit yang dijatuhkan oleh lembaga peradilan tingkat pertama (Pengadilan Niaga) mempunyai sifat dapat dilaksanakan terlebih dahulu (uitvoebaar bij voorraad).

Actio Pauliana
Imran Nating (2004:90) mengemukakan bahwa Actio Pauliana adalah lembaga perlindungan hak kreditor, dari perbuatan debitor pailit yang merugikan para kreditor.
Perbuatan hukum debitor pailit yang dilakukan dalam waktu satu (1) tahun sebelum putusan pernyataan pailit, dimana perbuatan itu dimaksudkan untuk merugikan kreditor, dapat dimintakan pembatalan. Dan untuk hal ini, kurator adalah satu-satunya pihak yang dapat melakukan pembatalan tersebut.

Actio Pauliana
Menurut Man S. Sastrawidjaya (2006:120), ada 5 syarat agar dapat dilakukan tindakan actio pauliana antara lain :
Debitor telah melakukan suatu perbuatan hukum
Perbuatan hukum tersebut bukan merupakan perbuatan yang diwajibkan
Perbuatan hukum tersebut merugikan kreditor
Debitor mengetahui bahwa perbuatan hukum dimaksud merugikan kreditornya
Pihak ketiga dengan siapa perbuatan hukum itu dilakukan mengetahui bahwa perbuatan hukum Debitor tersebut merugikan kreditor

Prosedur Permohonan Pailit
Munir Fuady (2005:12) menguraikan Diagram mengenai Prosedur Pengadilan tentang Permohonan Pailit, sesuai yang telah dtetapkan di dalam UUK dan PKPU yang dapat dilihat sebagai berikut :

A -------- B -------- C -------- D -------- E -------- F -------- G -------- H --------
1            2            3           13          20          25          60          63
------------------ tingkat Pengadilan Niaga  ------------------

I -------- J -------- K -------- L -------- M -------- N -------- O -------- P -------- Q R
68        70         77          79          82          84         102        142         145   147
-------------------- tingkat kasasi -----------------------

S -------- T -------- U -------- V -------- W -------- X -------- Y
177       179       179        187        189        219         221
327       329       329        337        339        369         371
---------------- peninjauan kembali ------------------

Prosedur Permohonan Pailit
Keterangan :
Permohonan pernyataan pailit dan pendaftarannya kepada pengadilan melalui panitera Pengadilan Niaga, vide Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2)
Panitera menyampaikan permohonan persyaratan pailit kepada Ketua Pengadilan Negeri (2 (dua) hari setelah pendaftaran), vide Pasal 6 ayat (4)
Pengadilan mempelajari permohonan dan menetapkan hari sidang (3 (tiga) hari setelah pendaftaran), vide Pasal 6 ayat (5)
Pemanggilan sidang (7 (tujuh) hari sebelum sidang pertama), vide Pasal 8 ayat (2)
Sidang dilaksanakan (20 (dua puluh) hari sejak pendaftaran), vide Pasal 6 ayat (6)
Sidang dapat ditunda jika memenuhi persyaratan (25 (dua puluh lima) hari setelah didaftarkan), vide Pasal 6 ayat (7)

Prosedur Permohonan Pailit
Putusan permohonan pailit (60 (enam puluh) hari setelah didaftarkan), vide Pasal 8 ayat (5)
Penyampaian salinan putusan kepada pihak yang berkepentingan (3 (tiga) hari setelah putusan), vide Pasal 9
Pengajuan dan pendaftaran permohonan kasasi dan memori kasasi kepada panitera Pengadilan Negeri, vide Pasal 11 ayat (2) juncto Pasal 12 ayat (1)
Panitera Pengadilan Negeri mengirim permohonan kasasi dan memori kasasi kepada pihak terkasasi (2 (dua) hari setelah pendaftaran permohonan kasasi), vide Pasal 12 ayat (2)
Pihak terkasasi menyampaikan kontra memori kasasi kepada pihak panitera Pengadilan Negeri (7 (tujuh) hari sejak pihak terkasasi menerima dokumen kasasi)
Panitera Pengadilan Negeri menyampaikan kontra memori kasasi kepada pemohon kasasi (2 (dua) hari setelah kontra memori kasasi diterima), vide Pasal 12 ayat (3)

Prosedur Permohonan Pailit
Panitera Pengadilan Negeri menyampaikan berkas kasasi kepada Mahkamah Agung (14 (empat belas) hari setelah pendaftaran permohonan kasasi), vide Pasal 13
Mahkamah Agung mempelajari dan menetapkan hari sidang untuk kasasi (2 (dua) hari setelah permohonan kasasi diterima Mahkamah Agung, vide Pasal 13 ayat (1)
Sidang pemeriksaan permohonan kasasi (20 (dua puluh) hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah Agung), vide Pasal 13 ayat (2)
Putusan kasasi (60 (enam puluh) hari setelah permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah Agung), vide Pasal 13 ayat (3)
Penyampaian putusan kasasi oleh panitera Mahkamah Agung kepada Panitera Pengadilan Negeri (3 (tiga) hari setelah putusan kasasi diucapkan), vide Pasal 13 ayat (6)

Prosedur Permohonan Pailit
Juru Sita Pengadilan Negeri menyampaikan salinan putusan kasasi kepada pemohon kasasi, termohon kasasi, kurator, dan hakim pengawas (2 (dua) hari setelah putusan kasasi diterima), vide Pasal 13 ayat (7)
Pengajuan Peninjauan Kembali dan pendaftarannya beserta buku pendukung ke Kepaniteraan Pengadilan Negeri dan pengajuan salinan permohonan Peninjauan Kembali dan salinan bukti pendukung kepada termohon Peninjauan Kembali (30 (tiga puluh) hari setelah putusan berkekuatan hukum tetap dengan alasan dalam Pasal 295 ayat (2b), atau 180 (seratus delapan puluh) hari setelah tanggal berkekuatan tetap dengan alasan dalam Pasal 295 ayat (2a), vide Pasal 296 ayat (1) dan ayat (2) juncto Pasal 297 ayat (1)
Penyampaian permohonan Peninjauan Kembali kepada panitera Mahkamah Agung (2 (dua) hari setelah pendaftaran permohonan Peninjauan Kembali, vide Pasal 296 ayat (5)

Prosedur Permohonan Pailit
Penyampaian salinan permohonan peninjauan kembali berikut bukti pendukung oleh Panitera Pengadilan Negeri kepada pemohon Peninjauan Kembali, vide Pasal 297 ayat (2)
Pengajuan Jawaban terhadap permohonan Peninjauan Kembali oleh termohon Peninjauan Kembali (10 (sepuluh) hari setelah pendaftaran permohonan peninjauan kembali, vide Pasal 297 ayat (3))
Penyampaian Jawaban termohon Peninjauan Kembali kepada panitera Mahkamah Agung oleh Panitera Pengadilan Negeri (12 (dua belas) hari setelah pendaftaran jawaban), vide Pasal 297 ayat (4)

Prosedur Permohonan Pailit
Peneriksaan dan pemberian keputusan Mahkamah Agung terhadap Peninjauan Kembali (30 (tiga puluh) hari setelah permohonan Peninjauan Kembali diterima Panitera Mahkamah Agung, vide Pasal 298 ayat (1). Berbeda dengan putusan Kasasi yang memberikan waktu 60 (enam puluh) hari (Pasal 13 ayat (3)). Tidak ada alasan yang reasonable untuk membedakan lamanya putusan kasasi dengan putusan peninjauan kembali, tetapi hanya kelupaan pembentuk undang-undang untuk mengubah pasal tentang Peninjauan Kembali dari undang-undang yang lama yang memang hanya memberikan waktu 30 (tiga puluh) hari (bukan 60 (enam puluh) hari)
Penyampaian salinan putusan Peninjauan Kembali oleh Mahkamah Agung kepada para pihak (32 (tiga puluh dua) hari setelah permohonan Peninjauan Kembali diterima Panitera Mahkamah Agung, vide Pasal 298 ayat (3). Hal ini berbeda dengan putusan kasasi yang oleh panitera Mahkamah Agung hanya disampaikan kepada panitera Pengadilan Negeri (bukan langsung kepada para pihak), vide Pasal 13 ayat (6).

Proses Kepailitan
Setelah jatuhnya putusan pengadilan, masih banyak mata acara lagi yang harus diselesaikan sampai akhirnya kepailitan ditutup. Munir Fuady (2005:22) menggambarkan Proses Kepailitan Dilihat secara keseluruhan :

A ----- B ----- C ----- D ----- E ----- F ----- G ----- H ----- I
Proses Kepailitan
Keterangan :
Putusan pailit (tingkat pertama), mulai berlaku penangguhan eksekusi hak jaminan (stay).
Putusan pailit berkekuatan tetap (inkracht)
Mulai dilakukan tindakan verifikasi (pencocokan piutang)
Dicapai komposisi (Akkord, perdamaian)
Pengadilan memberikan homologasi (mengesahkan perdamaian)
Atau dinyatakan insolvensi (debitor dalam keadaan tidak mampu membayar utang)
Dilakukan pemberesan (termasuk penyusunan daftar piutang dan           pembagian)
Kepailitan Berakhir
Dilakukan rehabilitasi

Pencocokan Piutang
Pencocokan (Verifikasi) piutang / utang merupakan salah satu kegiatan yang penting dalam proses kepailitan. Pencocokan tersebut dimaksudkan untuk melakukan pencocokan mengenai utang Debitor atau piutang kreditor. Pencocokan dimaksud baik mengenai kedudukan kreditor, pengakuan sebagai kreditor maupun mengenai besarnya piutang. Sebelumnya kurator melakukan inventarisasi mengenai hal-hal tersebut.
Perdamaian
Perdamaian merupakan salah satu mata rantai dalam proses kepailitan. Perdamaian dalam proses kepailitan pada prinsipnya sama dengan perdamaian dalam pengertian yang umum, yang intinya terjadinya kesepakatan antara kedua belah pihak.
Di dalam perdamaian bisa terjadi beberapa kemungkinan yang disepakati oleh pihak yang bersangkutan, yaitu : debitor membayar utangnya dengan cara menyicil, debitor membayar utang dan sebagian sisanya dihapuskan, dan berbagai alternatif lainnya yang bisa dihasilkan berdasarkan kesepakatan pihak yang bersangkutan. Bila perdamaian bisa dicapai, tentu akan lebih menguntungkan kedua belah pihak. Namun apabila tidak tercapai perdamaian, maka akan langsung terjadi Insolvensi. (Sentosa Sembiring, 2006:35)
 Apabila terjadi perdamaian antara debitor dan kreditor-kreditornya, maka pengadilan akan memberikan homologasi.
Insolvensi
Pada masa Insolvensi, Debitor dalam keadaan tidak mampu membayar, sehingga pada masa ini tidak ada lagi upaya lain sehingga terjadilah pemberesan harta pailit yang berujung dengan kepailitan berakhir.
Insolvensi dapat terjadi karena :
Jika dalam rapat verifikasi debitur tidak menawarkan rencana  perdamaian; atau
Rencana Perdamaian yang ditawarkan tidak diterima; atau
Pengesahan perdamaian ditolak berdasarkan putusan yang inkracht.

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
(1) Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang diajukan oleh Debitor yang mempunyai lebih dari 1 (satu) Kreditor atau oleh Kreditor.
(2) Debitor yang tidak dapat atau memperkirakan tidak akan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon penundaan kewajiban pembayaran utang, dengan maksud untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada Kreditor.
(3) Kreditor yang memperkirakan bahwa Debitor tidak dapat melanjutkan membayar utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon agar kepada Debitor diberi penundaan kewajiban pembayaran utang, untuk memungkinkan Debitor mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada Kreditornya.

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
Permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang harus diajukan kepada Pengadilan Niaga, dengan ditandatangani oleh pemohon dan oleh advokatnya.
Dalam hal pemohon adalah Debitor, permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang harus disertai daftar yang memuat sifat, jumlah piutang, dan utang Debitor beserta surat bukti secukupnya.
Dalam hal pemohon adalah Kreditor, Pengadilan wajib memanggil Debitor melalui juru sita dengan surat kilat tercatat paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum sidang.
Pada sidang sebagaimana dimaksud di atas, Debitor mengajukan daftar yang memuat sifat, jumlah piutang, dan utang Debitor beserta surat bukti secukupnya dan, bila ada, rencana perdamaian.
Pada surat permohonan dapat dilampirkan rencana perdamaian.

0 komentar:

Actio Pauliana (Claw Back) Dalam Kepailitan

ACTIO PAULIANA (CLAW BACK) DALAM KEPAILITAN
Pengertian
Yang dimaksud dengan Actio Pauliana (claw-back atau annulment of preferential transfer) adalah:

Suatu upaya hukum untuk membatalkan transaksi yang dilakukan oleh debitur untuk kepentingan para krediturnya. Misalnya, menjual barang-barangnya sehingga barang tersebut tidak dapat lagi disita-dijaminkan oleh pihak kreditur.

Imran Nating (2004:90) mengemukakan bahwa Actio Pauliana adalah lembaga perlindungan hak kreditor, dari perbuatan debitor pailit yang merugikan para kreditor.

Perbuatan hukum debitor pailit yang dilakukan dalam waktu satu (1) tahun sebelum putusan pernyataan pailit, dimana perbuatan itu dimaksudkan untuk merugikan kreditor, dapat dimintakan pembatalan. Dan untuk hal ini, kurator adalah satu-satunya pihak yang dapat melakukan pembatalan tersebut.


KUHPerdata mengatur mengenai actio pauliana dalam Pasal 1341.

Namun UUK & PKPU mengatur actio pauliana secara lebih komprehensif mulai dari Pasal 41 – 49.

Sehubungan dengan actio pauliana ini, Pasal 41 UUK & PKPU menyebutkan bahwa untuk kepentingan harta pailit, dapat dimintakan pembatalan atas segala perbuatan hukum debitur yang telah dinyatakan pailit yang merugikan kepentingan kreditur yang dilakukan sebelum pernyataan pailit diucapkan.
Syarat Tindakan Actio Pauliana
Menurut Man S. Sastrawidjaya (2006:120), ada 5 syarat agar dapat dilakukan tindakan actio pauliana antara lain :
Debitor telah melakukan suatu perbuatan hukum
Perbuatan hukum tersebut bukan merupakan perbuatan yang diwajibkan
Perbuatan hukum tersebut merugikan kreditor
Debitor mengetahui bahwa perbuatan hukum dimaksud merugikan kreditornya
Pihak ketiga dengan siapa perbuatan hukum itu dilakukan mengetahui bahwa perbuatan hukum Debitor tersebut merugikan kreditor

Syarat-Syarat Actio Pauliana
Menurut UUK & PKPU, syarat actio pauliana sebagai berikut:

1. Dilakukan actio pauliana untuk kepentingan
        harta pailit.
2. Ada perbuatan hukum dari debitur.
3. Debitur tersebut telah dinyatakan pailit, jadi
        tidak cukup misalnya jika terhadap debitur
        tersebut hanya diberlakukan penundaan
        kewajiban membayar hutang.
4. Perbuatan hukum tersebut merugikan
        kepentingan kreditur.

5. Perbuatan hukum tersebut dilakukan sebelum
        pernyataan pailit dilakukan.
6. Kecuali dalam hal-hal berlaku pembuktian
        terbalik, dapat dibuktikan bahwa pada saat
        perbuatan hukum tersebut dilakukan, debitur
        tersebut mengetahui atau sepatutnya mengetahui
        bahwa perbuatan hukum tersebut akan
        mengakibatkan kerugian bagi kreditur.
7. Kecuali dalam hal-hal berlaku pembuktian
        terbalik, dapat dibuktikan bahwa pada saat
        perbuatan hukum tersebut dilakukan, pihak dengan
        siapa perbuatan hukum itu dilakukan mengetahui atau
        sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan hukum
        tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditur.

8. Perbuatan hukum tersebut bukan perbuatan yang
        diwajibkan, yaitu tidak diwajibkan oleh perjanjian
        atau undang-undang seperti membayar pajak.

Sebagaimana disebutkan bahwa salah satu syarat sehingga actio pauliana dapat dilakukan adalah adanya suatu “perbuatan hukum” yang dilakukan oleh debitur.

Yang dimaksud dengan perbuatan hukum adalah setiap tindakan debitur yang mempunyai akibat hukum. Misalnya, debitur menjual melakukan hibah atas hartanya itu, baik perbuatan itu bersifat timbal balik (seperti jual beli) ataupun bersifat unilateral (seperti hibah atau waiver)

Dengan demikian ada 2 unsur yang mesti dipenuhi agar perbuatan tersebut dapat disebut sebagai perbuatan hukum yaitu:
1. Berbuat sesuatu
2. Mempunyai akibat hukum.

Melakukan sesuatu yang tidak mempunyai akibat hukum atau tidak melakukan sesuatu tetapi mempunyai akibat hukum tidak dianggap sebagai suatu perbuatan hukum sehingga tidak dikenakan actio pauliana.

Beberapa tindakan ini tidak dapat dibatalkan dengan actio pauliana karena tidak memenuhi elemen “suatu perbuatan hukum” :

1. Debitur memusnahkan asetnya.
2. Debitur menolak menerima sumbangan atau
        hibah.
3. Debitur tidak mengeksekusi (tidak
        memfinalkan) suatu kontrak yang sudah
        terlebih dahulu diperjanjikannya.

Persyaratan lain agar suatu perbuatan hukum dapat dibatalkan atas dasar doktrin actio pauliana adalah: bahwa perbuatan tersebut tidak wajib dilakukan (voluntarily undertaken), yaitu tidak adanya kewajiban hukum debitur atas dasar:
1. undang-undang yang berlaku.
2. kewajiban atas dasar adanya perjanjian.

Dengan demikian jika ada kewajiban yang dilakukan berdasarkan suatu bentuk perundang-undangan di bawah UU, misalnya atas dasar suatu Keppres sedangkan Keppres tsb tidak mempunyai cantolannya pada uu yang mana , hal tersebut bukanlah suatu kewajiban yang dapat menghalangi berlakunya diajukannya suatu actio pauliana.

Oleh karena itu membayar hutang juga tentunya bukan merupakan perbuatan yang tidak diwajibkan, karena itu tidak dapat dibatalkan dengan mekanisme actio pauliana, tetapi dapat dibatalkan lewat pasal lain dalam UUK.

Jika debitur telah melakukan pembayaran atas hutangnya kepada kreditur tertentu sebelum putusan pailit dijatuhkan, sesungguhnya ini merupakan suatu perbuatan yang diwajibkan, pembayaran hutang tersebut masih dapat dibatalkan jika:



1. Apabila dapat dibuktikan bahwa si
       penerima pembayaran mengetahui
       bahwa pada saat dibayarnya hutang
       tersebut oleh debitur, kepada debitur
       tersebut telah dimintakan pernyataan
       pailit atau pelaporan untuk itu sudah
       dimintakan.

2. Apabila pembayaran hutang tersebut akibat
        kolusi antara kreditur & debitur yang dapat
        memberikan keuntungan kepada debitur
        tersebut melebihi dari kreditur-kreditur
        lain (Pasal 46 UUK).

Tindakan yang dianggap tidak diwajibkan sehingga dapat dimintakan pembatalannya dengan berdasarkan actio pauliana (ditemukan dalam doktrin-doktrin hukum Belanda) adalah:

1. Memberikan jaminan kepada
       kreditur yang tidak diharuskan.
2. Membayar hutang yang belum jatuh
       tempo.

3. Menjual barang-barang kepada
       krediturnya diikuti dengan
       kompensasi (set off) terhadap
       harga barang tersebut.
4. Membayar hutang (sudah jatuh
       tempo atau belum) tidak secara
       tunai, misalnya dibayar dengan
       barang.

Selain itu syarat lain agar suatu actio pauliana dapat diajukan adalah bahwa perbuatan hukum tersebut merugikan (prejudice).

Perbuatan yang merugikan kreditur antara lain:

1. Penjualan barang yang harganya di
       bawah harga pasar.
2. Pemberian suatu barang sebagai hibah
       atau hadiah.

3. Melakukan sesuatu yang dapat
       menambah kewajiban atau beban
       kepada harta pailit. Misalnya
       memberikan garansi (oleh anak
       perusahaan) kepada hutang yang
       diambil oleh perusahaan holding.
4. Melakukan sesuatu yang dapat
       menyebabkan kerugian terhadap
       ranking kreditur. Misalnya, memberikan
       pembayaran hutang atau jaminan
       hutang terhadap kreditur tertentu saja.

Di samping itu, agar suatu perbuatan yang dilakukan debitur yang kemudian dinyatakan pailit untuk dapat dibatalkan berdasarkan doktrin actio pauliana harus memenuhi syarat:

1. Diketahui
2. Patut diduga oleh pihak debitur &
       pihak ketiga bahwa perbuatan tsb
       merugikan (prejudicial) terhadap
       pihak kreditur.

Jika yang dilakukan merupakan perbuatan pemberian hibah atau hadiah, terhadaap pihak ketiga yang menerima hadiah atau hibah tsb tidak disyaratkan unsur “mengetahui atau patut menduga” bahwa perbuatan tsb merugikan pihak kredditur.

Unsur “mengetahui & patut menduga” tsb hanya dipersyaratkan saja untuk pemberi hadiah atau hibah.
Akibat hukum pemberlakuan actio pauliana
Konsekuensi dari dilakukannya suatu tindakan yang dapat digolongkan ke dalam actio pauliana adalah:  perbuatan tersebut dapat dimohonkan pembatalan. (Pasal 41 UUK).

Jika debitur menjual suatu barang yang dapat dikenakan actio pauliana, jual beli tersebut dibatalkan & karenanya barang harus dikembalikan kepada debitur pailit.

Jika barang tsb karena sesuatu & lain hal tidak dapat dikembalikan lagi, maka menurut Pasal 49 ayat (1) UUK pihak pembeli wajib memberikan ganti rugi kepada kurator.

Selanjutnya lihat Pasal 49 UUK



TERIMA KASIH

0 komentar:

Organ-Organ PT

Organ-Organ Perseroan Terbatas Terdiri Atas:
RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM (RUPS)
DIREKSI
DEWAN KOMISARIS

RUPS
RUPS mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris, dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang PT dan/atau anggaran dasar.

Dalam forum RUPS, pemegang saham berhak memperoleh keterangan yang berkaitan dengan Perseroan dari Direksi dan/atau Dewan Komisaris, sepanjang berhubungan dengan mata acara rapat dan tidak bertentangan dengan kepentingan Perseroan.

RUPS
RUPS dalam mata acara lain-lain tidak berhak mengambil keputusan, kecuali semua pemegang saham hadir dan/atau diwakili dalam RUPS dan menyetujui penambahan mata acara rapat.

Keputusan atas mata acara rapat yang ditambahkan harus disetujui dengan suara bulat.

Jenis RUPS
RUPS terdiri atas RUPS tahunan dan RUPS lainnya.
RUPS tahunan wajib diadakan dalam jangka waktu paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun buku berakhir.
Dalam RUPS tahunan, harus diajukan semua dokumen dari laporan tahunan Perseroan
RUPS lainnya dapat diadakan setiap waktu berdasarkan kebutuhan untuk kepentingan Perseroan.
Direksi menyelenggarakan RUPS tahunan dan RUPS lainnya dengan didahului pemanggilan RUPS.

Penyelenggaraan RUPS
Penyelenggaraan RUPS dapat dilakukan atas permintaan:

1 (satu) orang atau lebih pemegang saham yang bersama-sama mewakili 1/10 (satu persepuluh) atau lebih dari jumlah seluruh saham dengan hak suara, kecuali anggaran dasar menentukan suatu jumlah yang lebih kecil; atau
Dewan Komisaris.
Permintaan RUPS oleh Dewan Komisari diajukan kepada Direksi dengan Surat Tercatat disertai alasannya.

Penyelenggaraan RUPS
Surat Tercatat yang disampaikan oleh pemegang saham tembusannya disampaikan kepada Dewan Komisaris.
Direksi wajib melakukan pemanggilan RUPS dalam jangka waktu paling lambat 15 (lima belas) hari terhitung sejak tanggal permintaan penyelenggaraan RUPS diterima.
Dalam hal Direksi tidak melakukan pemanggilan RUPS : a. permintaan penyelenggaraan RUPS diajukan kembali kepada Dewan Komisaris; atau b. Dewan Komisaris melakukan pemanggilan sendiri RUPS,.

Penyelenggaraan RUPS
Dalam hal Direksi atau Dewan Komisaris tidak melakukan pemanggilan RUPS dalam  jangka waktu 15 hari sejak tanggal permintaan, pemegang saham yang meminta penyelenggaraan RUPS dapat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Perseroan untuk menetapkan pemberian izin kepada pemohon melakukan sendiri pemanggilan RUPS tersebut.

Penyelenggaraan RUPS
Ketua pengadilan negeri setelah memanggil dan mendengar pemohon, Direksi dan/atau Dewan Komisaris, menetapkan pemberian izin untuk menyelenggarakan RUPS apabila pemohon secara sumir telah membuktikan bahwa persyaratan telah dipenuhi dan pemohon mempunyai kepentingan yang wajar untuk diselenggarakannya RUPS.

Penyelenggaraan RUPS
Penetapan ketua pengadilan negeri memuat juga ketentuan mengenai: a. bentuk RUPS, mata acara RUPS sesuai dengan permohonan pemegang saham, jangka waktu pemanggilan RUPS, kuorum kehadiran, dan/atau ketentuan tentang persyaratan pengambilan keputusan RUPS, serta penunjukan ketua rapat, sesuai dengan atau tanpa terikat pada ketentuan Undang-Undang ini atau anggaran dasar; dan/atau b. perintah yang mewajibkan Direksi dan/atau Dewan Komisaris untuk hadir dalam RUPS.

Penyelenggaraan RUPS
Ketua pengadilan negeri menolak permohonan dalam hal pemohon tidak dapat membuktikan secara sumir bahwa persyaratan telah dipenuhi dan pemohon mempunyai kepentingan yang wajar untuk diselenggarakannya RUPS.
RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya boleh membicarakan mata acara rapat sebagaimana ditetapkan oleh ketua pengadilan negeri.
Penetapan ketua pengadilan negeri mengenai pemberian izin bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap.


Penyelenggaraan RUPS
Dalam hal penetapan ketua pengadilan negeri menolak permohonan, upaya hukum yang dapat diajukan hanya kasasi.
Ketentuan berlaku juga bagi Perseroan Terbuka dengan memperhatikan persyaratan pengumuman akan diadakannya RUPS dan persyaratan lainnya untuk penyelenggaraan RUPS sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.

Hak Suara PS dalam RUPS
Setiap saham yang dikeluarkan mempunyai satu hak suara, kecuali anggaran dasar menentukan lain.
Hak suara tersebut tidak berlaku untuk:
a. saham Perseroan yang dikuasai sendiri oleh Perseroan;
b. saham induk Perseroan yang dikuasai oleh anak perusahaannya secara langsung atau tidak langsung; atau
c. saham Perseroan yang dikuasai oleh Perseroan lain yang sahamnya secara langsung atau tidak langsung telah dimiliki oleh Perseroan.

Hak Suara PS dalam RUPS
Pemegang saham, baik sendiri maupun diwakili berdasarkan surat kuasa berhak menghadiri RUPS dan menggunakan hak suaranya sesuai dengan jumlah saham yang dimilikinya.
Ketentuan di atas tersebut  tidak berlaku bagi pemegang saham dari saham tanpa hak suara.
Dalam pemungutan suara, suara yang dikeluarkan oleh pemegang saham berlaku untuk seluruh saham yang dimilikinya dan pemegang saham tidak berhak memberikan kuasa kepada lebih dari seorang kuasa untuk sebagian dari jumlah saham yang dimilikinya dengan suara yang berbeda.

Hak Suara PS dalam RUPS
Dalam pemungutan suara, anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris, dan karyawan Perseroan yang bersangkutan dilarang bertindak sebagai kuasa dari pemegang saham.
Dalam hal pemegang saham hadir sendiri dalam RUPS, surat kuasa yang telah diberikan tidak berlaku untuk rapat tersebut.
Ketua rapat berhak menentukan siapa yang berhak hadir dalam RUPS dengan memperhatikan ketentuan Undang-Undang PT dan anggaran dasar Perseroan.

Keabsahan RUPS
RUPS kedua sah dan berhak mengambil keputusan jika dalam RUPS paling sedikit 1/3 (satu pertiga) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili, kecuali anggaran dasar menentukan jumlah kuorum yang lebih besar.
Dalam hal kuorum RUPS kedua tidak tercapai, Perseroan dapat memohon kepada ketua pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Perseroan atas permohonan Perseroan agar ditetapkan kuorum untuk RUPS ketiga.

Keabsahan RUPS
RUPS dapat dilangsungkan jika dalam RUPS lebih dari 1/2 (satu perdua) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili, kecuali Undang-Undang dan/atau anggaran dasar menentukan jumlah kuorum yang lebih besar.
Dalam hal kuorum tidak tercapai, dapat diadakan pemanggilan RUPS kedua.
Dalam pemanggilan RUPS kedua harus disebutkan bahwa RUPS pertama telah dilangsungkan dan tidak mencapai kuorum.

Keabsahan RUPS
Pemanggilan RUPS ketiga harus menyebutkan bahwa RUPS kedua telah dilangsungkan dan tidak mencapai kuorum dan RUPS ketiga akan dilangsungkan dengan kuorum yang telah ditetapkan oleh ketua pengadilan negeri.
Penetapan ketua pengadilan negeri mengenai kuorum RUPS bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap.
Pemanggilan RUPS kedua dan ketiga dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum RUPS kedua atau ketiga dilangsungkan.

Keabsahan RUPS
RUPS kedua dan ketiga dilangsungkan dalam jangka waktu paling cepat 10 (sepuluh) hari dan paling lambat 21 (dua puluh satu) hari setelah RUPS yang mendahuluinya dilangsungkan.

Kuorum RUPS
Keputusan RUPS diambil berdasarkan musyawarah untuk mufakat.

Dalam hal keputusan berdasarkan musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, keputusan adalah sah jika disetujui lebih dari 1/2 (satu perdua) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan kecuali Undang-Undang dan/atau anggaran dasar menentukan bahwa keputusan adalah sah jika disetujui oleh jumlah suara setuju yang lebih besar.

Kuorum RUPS
RUPS untuk mengubah anggaran dasar dapat dilangsungkan jika dalam rapat paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili dalam RUPS dan keputusan adalah sah jika disetujui paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali anggaran dasar menentukan kuorum kehadiran dan/atau ketentuan tentang pengambilan keputusan RUPS yang lebih besar.
Dalam hal kuorum kehadiran tidak tercapai, dapat diselenggarakan RUPS kedua.

Kuorum RUPS
RUPS kedua sah dan berhak mengambil keputusan jika dalam rapat paling sedikit 3/5 (tiga perlima) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili dalam RUPS dan keputusan adalah sah jika disetujui paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali anggaran dasar menentukan kuorum kehadiran dan/atau ketentuan tentang pengambilan keputusan RUPS yang lebih besar.

Kuorum RUPS
RUPS untuk menyetujui Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan, pengajuan permohonan agar Perseroan dinyatakan pailit, perpanjangan jangka waktu berdirinya, dan pembubaran Perseroan dapat dilangsungkan jika dalam rapat paling sedikit 3/4 (tiga perempat) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili dalam RUPS dan keputusan adalah sah jika disetujui paling sedikit 3/4 (tiga perempat) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali anggaran dasar menentukan kuorum kehadiran dan/atau ketentuan tentang persyaratan pengambilan keputusan RUPS yang lebih besar.

Kuorum RUPS
Dalam hal kuorum kehadiran tidak tercapai, dapat diadakan RUPS kedua.
RUPS kedua sah dan berhak mengambil keputusan jika dalam rapat paling sedikit 2/3 (dua pertiga) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili dalam RUPS dan keputusan adalah sah jika disetujui oleh paling sedikit 3/4 (tiga perempat) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali anggaran dasar menentukan kuorum kehadiran dan/atau ketentuan tentang persyaratan pengambilan keputusan RUPS yang lebih besar.

DIREKSI
Direksi merupakan organ yang membela kepentingan perseroan --- Prinsip Fiduciary Duties.
Tugas ganda Direksi; melaksanakan kepengurusan dan perwakilan
Tugas kepengurusan secara kolegial oleh msg-msg anggota direksi.
Direksi perseroan yang mengerahkan dana masyarakat, menerbitkan srt pengakuan hutang, PT terbuka: minimal 2 org anggota Direksi.

Pengangkatan & Kewajiban Direksi
Direksi diangkat oleh RUPS
Yang dpt diangkat mjd anggota direksi adl org perseorangan yg mampu melaksanakan perbuatan hk & tdk pernah dinyatakan pailit/dihukum krn merugikan keuangan neg dl waktu 5 th sblm pengangkatan.
Kewajiban Direksi :
Kewajiban yang berkaitan dg perseroan
Kewajiban yg berkaitan dg RUPS
Kewajiban yang berkaitan dengan kepentingan kreditur/masyarakat 


Hak Direksi
Hak utk mewakili perseroan di dalam dan di luar pengadilan
Hak utk memberikan kuasa tertulis kepada pihak lain.
Hak utk mengajukan usul kpd Pengadilan Negeri agar perseroan dinyatakan pailit setelah didahului dg persetujuan RUPS.
Hak utk membela diri dlm forum RUPS jika Direksi telah diberhentikan utk sementara waktu oleh RUPS/Komisaris

Hak Direksi
5. Hak utk mendapatkan gaji dan tunjangan lainnya
        sesuai AD/Akte Pendirian.

Berakhirnya Masa Tugas Direksi
Jangka waktu masa tugas direksi diatur dalam AD/Akte Pendirian.
Jika diberhentikan sementara waktu sbl berakhir masa tugasnya oleh RUPS/Komisaris maka dlm jangka waktu 30 hrs diadakan RUPS utk memberi kesempatan Direksi tsb membela diri. Apabila dlm jangka waktu 30 hr tdk ada RUPS maka pemberhentian sementara demi hukum batal.
Dlm kondisi tertentu Komisaris dpt bertindak sbg pengurus perseoan.

PERTANGGUNGJAWABAN PRIBADI DIREKSI
Setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya.

Dalam hal Direksi terdiri atas 2 (dua) anggota Direksi atau lebih, tanggung jawab berlaku secara tanggung renteng bagi setiap anggota Direksi.

PERTANGGUNGJAWABAN PRIBADI DIREKSI
Anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian apabila dapat membuktikan:
kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;
tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan
telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.

DEWAN KOMISARIS
Tugas utamanya: mengawasi kebijakan direksi dlm menjalankan perseroan serta memberi nasihat direksi
Pengangkatan Komisaris oleh RUPS.
Keanggotaan Komisaris: jika pemegang saham maka hrs melaporkan kepemilikan sahamnya baik di perseroan yang diawasi maupun saham yg dimiliki di perseroan lain.
Kriteria yg dpt mjd Komisaris spt halnya direksi.

Kewajiban & Kewenangan Dewan Komisaris
Kewajiban Komisaris:
Mengawasi Direksi
Memberi nasehat kpd Direksi
Melapor pd perseroan ttg kepemilikan sahamnya beserta keluarganya

Kewajiban & Kewenangan Dewan Komisaris
Kewenangan Komisaris:
Alasan ttt dpt memberhentikan direksi utk sementara waktu
Jika direksi berhalangan dpt bertindak sbg pengurus
Meminta keterangan pd Direksi
Berwenang memasuki ruangan/tempat penyimpanan brg milik perseroan.

Berakhirnya Masa Tugas Dewan Komisaris
Masa tugas Komisaris ditetapkan dlm AD/Akte Pendirian.

Komisaris dapat diberhentikan sementara waktu oleh RUPS

Pertanggungjawaban Pribadi DK
Dalam hal terjadi kepailitan karena kesalahan atau kelalaian Dewan Komisaris dalam melakukan pengawasan terhadap pengurusan yang dilaksanakan oleh Direksi dan kekayaan Perseroan tidak cukup untuk membayar seluruh kewajiban Perseroan akibat kepailitan tersebut, setiap anggota Dewan Komisaris secara tanggung renteng ikut bertanggung jawab dengan anggota Direksi atas kewajiban yang belum dilunasi.

Pertanggungjawaban Pribadi DK
Tanggung jawab berlaku juga bagi anggota Dewan Komisaris yang sudah tidak menjabat 5 (lima) tahun sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan.

Anggota Dewan Komisaris tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas kepailitan Perseroan apabila dapat membuktikan:

kepailitan tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;


Pertanggungjawaban Pribadi DK
telah melakukan tugas pengawasan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;
tidak mempunyai kepentingan pribadi, baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan oleh Direksi yang mengakibatkan kepailitan; dan
telah memberikan nasihat kepada Direksi untuk mencegah terjadinya kepailitan.

Pertanggungjawaban pribadi Pemegang Saham (Ps 3 UUPT 40/2007)
Pemegang saham Perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama Perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian Perseroan melebihi saham yang dimiliki.

Ketentuan tersebut di atas tidak berlaku apabila:
persyaratan Perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi;

Pertanggungjawaban pribadi Pemegang Saham (Ps 3 UUPT 40/2007)
pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan Perseroan untuk kepentingan pribadi;
pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Perseroan; atau
pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan Perseroan, yang mengakibatkan kekayaan Perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang Perseroan.



TERIMA KASIH

0 komentar:

Hukum Laut dan Perikanan

HUKUM LAUT dan PERIKANAN

DEFINISI :
Laut adalah keseluruhan rangkaian air asin yg menggenangi permukaan bumi.


LAUT MENURUT DEFINISI HUKUM
adalah keseluruhan air laut yg berhubungan secara bebas di seluruh permukaan bumi.

FUNGSI LAUT :
1. Sumber makanan.
2. Untuk mengontrol iklim dunia
3. Tempat rekreasi atau hiburan
4.  Pembangkit listrik tenaga ombak, angin.
5.  T4 budidaya ikan, kerang, mutiara,rumput laut.
6.  Sebagai t4 barang tambang.
7.  Objek riset (penelitian)
8.  Laut sebagai sumber air minum.
9.  Sebagai jalur transportasi
10. Sebagai pemisah & pemersatu bangsa/negara.
SEJARAH HUKUM LAUT
 Sejak laut dimanfaatkan utk kepentingan pelayaran, perdagangan, dan sebagai sumber kehidupan spt penangkapan ikan, dan kekayaan alam, sejak itu pula ahli2 hukum mulai mencurahkan perhatiannya pada hukum laut.

Pada abad ke-16 dan 17 keinginan utk menguasai laut merupakan hal yg diperebutkan oleh negara2 maritim di Eropa yaitu : Spanyol dan Portugis
SEJARAH HUKUM LAUT
Alasan yg dipakai Grotius untuk menentang monopoli Spanyol dan Portugis, adalah :
Grotius berpendapat bahwa, Laut adalah unsur yg bergerak dgn cair, orang2 tdk bisa secara permanen tinggal di lautan, laut hanya digunakan sebagai tempat singgah dan jalur transportasi dlm rangka keperluan2 tertentu & kemudian kembali lagi ke daratan. Sedangkan di darat manusia bisa hidup & berkembang secara permanen, melakukan kekuasaan secara efektif dan berkelanjutan.
Oleh krn itu Laut tdk bisa dimiliki oleh siapa pun (res extra commercium). Laut tdk dpt berada  di bawah kedaulatan negara manapun di dunia ini dan Laut menjadi bebas.
SEJARAH HUKUM LAUT
2. Grotius mendasarkan prinsipnya dgn memakai falsafah hukum alam :
     “Tuhan menciptakan bumi ini sekalian dengan laut-lautnya, & ini berarti agar bangsa2 di dunia dapat berhubungan satu sama lain utk kepentingan bersama, angin berhembus dr segala jurusan dan membawa kapal2 ke seluruh pantai benua. Hal ini menandakan bahwa laut itu bebas dan dapat digunakan oleh siapa pun.”
SEJARAH HUKUM LAUT
Yg menguasai lautan berdasarkan Perjanjian Tordesillas tahun 1494. Perjanjian ini dlm perkembangannya memperoleh tantangan dr Inggris di bawah kepemimpinan Ratu Elizabeth I yg menghendaki kebebasan di lautan.

Selain Inggris, Belanda yg dgn tegas menentang praktik2 monopoli Spanyol dan Portugis atas laut, yg tercermin dlm karangan Ahli Hukum Belanda yg bernama Grotius pd tahun 1609 yg berjudul Mare Liberum ( Laut yg bebas).
SEJARAH HUKUM LAUT
Sejak berakhirnya PD I dan PD II, negara2 di seluruh belahan dunia menjadi sadar akan potensi positif dan negatif dari laut, & menyadari pula bahwa laut harus diatur sedemikian rupa supaya berbagai kepentingan negara2 atas laut dpt terjaga.

Dari pengalaman itulah negara2 sepakat untuk membentuk suatu aturan (hukum) yg kemudian dikenal dgn sebutan hukum laut internasional.
SEJARAH HUKUM LAUT
Di dalam dekade dr abad ke-20 telah 4 kali diadakan usaha2 utk memperoleh suatu himpunan hukum laut yg menyeluruh, yaitu :
Konfererensi Kodifikasi Den Haag 1930 di bawah naungan Liga Bangsa-Bangsa.

2. The United Nation Conference on the Law of the Sea in 1958 (Konferensi PBB ttg Hukum Laut 1958) di Jenewa menghasilkan 4 kesepakatan internasional:
a. Convention on the Territorial Sea and Contiguous Zone  (Konvensi ttg laut teritorial dan zona tambahan).
b. Convention on the High Sea (Konvensi ttg Laut Lepas).
SEJARAH HUKUM LAUT
c. Convention on  Fishing and Conservation of the Living Resources of the High Sea (Konvensi ttg Perikanan dan perlindungan kekayaan alam hayati di Laut Lepas)
d. Convention on the Continental Shelf (Konvensi ttg Landas Kontinen).

3. The UN Conference on the Law of the Sea in 1960  (Konferensi PBB ttg Hukum Laut 1960).

4. The UN Conference on the Law of the Sea in 1982 (UNCLOS).
SEJARAH HUKUM LAUT
Konvensi Hukum laut 1982 adalah puncak karya dari PBB tentang Hukum Laut, yang disetujui di Montego Bay, Jamaika, pada tgl 10 Desember 1982, pada sidangnya yang ke 11. Konvensi ini dianggap sebagai karya hukum masyarakat internasional yg terbesar di abad ke 20.

Selain yg terbesar, konvensi ini dianggap sebagai konvensi yg terpanjang, juga yang terpenting dalam sejarah Hukum Internasional.
SEJARAH HUKUM LAUT
Dianggap sebagai yang terbesar krn konvensi ini diikuti oleh lebih dari 160 negara, dengan sekitar 4500 anggota delegasi dengan beragam disiplin dan kompetensi  keilmuan.

Terpanjang, karena konvensi ini berlangsung selama lebih dari 9 tahun, dari Desember 1973 – September 1982.

Terpenting, karena konvensi ini adalah hasil dari kemauan bersama negara2 di dunia untuk berhasil betapapun banyak dan rumitnya masalah2 yang dihadapi.

WILAYAH LAUT

adalah  laut beserta tanah yang ada di bawahnya. Tanah di bawah laut terdiri dari dasar laut dan tanah di bawah dasar laut. Wilayah laut terbagi atas wilayah yang dikuasai oleh suatu negara (negara pantai) dengan laut yang tidak dikuasai oleh negara.

Konvensi PBB  tentang Hukum Laut 1982 (Unclos 1982) melahirkan delapan zonasi pengaturan (regime) hukum laut yaitu :
Perairan Pedalaman (Internal waters),
Perairan Kepulauan (Archipelagic waters) termasuk ke dalamnya selat yg digunakan utk pelayaran internasional,
Laut  Teritorial (Teritorial waters),
Zona Tambahan (Contiguous Zone),
Zona Ekonomi Eksklusif ( Exclusif Economic Zone),
Landas Kontinen ( Continental Shelf)
Laut Lepas ( High seas)
Kawasan dasar laut internasional ( International sea-bed)

PERAIRAN PEDALAMAN

Adalah perairan yg berada pada sisi darat (dalam) garis pangkal. Di kawasan ini negara memiliki kedaulatan penuh, sama seperti kedaulatan negara di daratan. Pada prinsipnya tidak ada hak lintas damai (innocent passage)  di kawasan ini.

LAUT  TERITORIAL

adalah laut yg terletak pada sisi luar dr garis pangkal dan tidak melebihi dari 12 mil.
Di kawasan ini kedaulatan negara penuh termasuk atas ruang udara di atasnya. Hak lintas damai diakui bagi kapal-kapal asing yg melintas. Hak lintas damai (Innocent passage) menurut Konvensi Hukum Laut 1982 adalah hak untuk melintas secepat-cepatnya tanpa berhenti dan bersifat damai, tidak mengganggu keamanan dan ketertiban negara pantai.
PENGERTIAN LINTAS
Lintas berarti navigasi melalui laut teritorial untuk keperluan:
melintasi laut tanpa memasuki perairan pedalaman atau singgah di tempat berlabuh di tengah laut (roadstead)  atau fasilitas pelabuhan di luar perairan pedalaman;   atau
berlalu ke atau dari perairan pedalaman atau singgah di tempat berlabuh di tengah laut (roadstead) atau fasilitas pelabuhan tersebut.

Lintas harus terus menerus, langsung serta secepat mungkin. Lintas mencakup berhenti dan buang jangkar, tetapi hanya sepanjang hal tersebut berkaitan dengan navigasi yg lazim atau perlu dilakukan karena force majeure atau mengalami kesulitan atau guna memberikan pertolongan kepada orang, kapal atau pesawat udara yg dalam bahaya.
PENGERTIAN LINTAS DAMAI
Lintas adalah damai sepanjang tidak merugikan bagi kedamaian, ketertiban atau keamanan negara pantai.

Lintas suatu kapal asing harus dianggap membahayakan kedamaian, ketertiban atau keamanan negara pantai, apabila kapal tersebut di laut teritorial melakukan salah satu kegiatan sbb :
setiap ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik Negara pantai, atau dgn cara lain apapun yg mrpkan pelanggaran asas hukum internsional sebgm tercantum dlm Piagam PBB.
PENGERTIAN LINTAS DAMAI
setiap perbuatan yg bertujuan untuk mengumpulkan informasi yang merugikan bagi pertahanan atau keamanan negara pantai;
setiap perbuatan propaganda yang bertujuan mempengaruhi pertahanan atau keamanan negara pantai;
peluncuran,pendaratan atau penerimaan setiap pesawat udara di atas kapal;
peluncuran, pendaratan atau penerimaan setiap peralatan dan perlengkapan militer;
PENGERTIAN LINTAS DAMAI
bongkar atau muat setiap komoditi, mata uang atau orang secara bertentangan dengan peraturan perundang-undangan bea cukai, fiskal, imigrasi atau saniter negara pantai;
setiap perbuatan pencemaran;
setiap kegiatan perikanan;
kegiatan riset atau survey;
setiap perbuatan yg bertujuan mengganggu setiap komunikasi negara pantai;
setiap kegiatan lainnya yg tidak berhubungan langsung dengan lintas.

Di laut teritorial, kapal selam dan kendaraan bawah air lainnya harus melakukan navigasi di atas permukaan air dan menunjukkan benderanya.
KEWAJIBAN NEGARA PANTAI
Negara pantai tidak boleh menghalangi lintas damai kapal asing melalui laut teritorial kecuali sesuai dgn ketentuan konvensi ini. Negara pantai khususnya tidak akan:
menetapkan persyaratan kapal asing yg secara praktis berakibat penolakan atau pengurangan lintas damai;   atau
mengadakan diskriminasi terhadap kapal Negara manapun.
Negara pantai harus mengumumkan bahaya apapun bagi navigasi dalam laut teritorialnya yg diketahuinya.
PUNGUTAN YANG DAPAT DIBEBANKAN PADA KAPAL ASING
Tidak ada pungutan yang dapat dibebankan pada kapal asing hanya karena melintasi laut teritorial.

Pungutan dapat dibebankan pada kapal asing yang melintasi laut teritorial hanya sebagai pembayaran bagi pelayanan khusus yang diberikan kepada kapal tersebut. Pungutan ini harus dibebankan tanpa diskriminasi.
YURISDIKSI KRIMINAL DI ATAS KAPAL ASING
Yurisdiksi kriminal negara pantai tidak dapat dilaksanakan di atas kapal asing yang sedang melintasi laut teritorial untuk menangkap siapapun atau untuk mengadakan penyidikan yang bertalian dengan kejahatan apapun yang dilakukan di atas kapal selama lintas, kecuali dalam hal yang berikut:

apabila akibat kejahatan itu dirasakan di negara pantai;
apabila kejahatan itu termasuk jenis yang mengganggu kedamaian negara tsb atau ketertiban laut wilayah;
YURISDIKSI KRIMINAL DI ATAS KAPAL ASING
apabila telah diminta bantuan penguasa setempat oleh nakhoda kapal oleh wakil diplomatik atau pejabat konsuler negara bendera;     atau
apabila tindakan demikian diperlukan untuk menumpas perdagangan gelap narkotika atau bahan psychotropis.
UU No. 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA
Menurut Pasal 2 UU No. 6 tahun 1996 :
Negara Republik Indonesia adalah Negara Kepulauan.
Segala perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia, dengan tidak memperhitungkan luas atau lebarnya merupakan bagian integral dari wilayah daratan Negara Republik Indonesia sehingga merupakan bagian dari perairan Indonesia yg berada di bawah kedaulatan Negara Republik Indonesia.

Wilayah Perairan Indonesia meliputi laut teritorial Indonesia, perairan kepulauan, dan perairan pedalaman.
(Pasal 3 ayat 1)

Laut Teritorial Indonesia adalah jalur laut selebar 12 mil laut yang diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia.

Hak Lintas Bagi Kapal-Kapal Asing diatur dalam Pasal 11 – Pasal 17
ZONA  TAMBAHAN (CONTIGUOUS  ZONE)
Dalam Pasal 33 ayat 1 UNCLOS 1982 ditegaskan bahwa pada Zona Tambahan, negara pantai dapat melaksanakan pengawasan yang diperlukan untuk mencegah pelanggaran atas peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang masalah bea cukai, fiskal, imigrasi, dan saniter atau kesehatan serta menghukum pelanggaran atas perundang-perundangan tsb.

Zona Tambahan tidak boleh melebihi 24 mil laut dari garis pangkal dari mana lebar laut teritorial itu diukur.
LANDAS KONTINEN (continental shelf)
Ialah  plate-forme atau daerah dasar laut yang terletak antara dasar air rendah dan titik dimana dasar laut menurun secara tajam dan dimana mulai daerah dasar laut baru yang disebut  lereng kontinen.


LANDAS KONTINEN
  Pasal 76 angka 1 UNCLOS menyebutkan bahwa Landas Kontinen suatu negara pantai meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya dari daerah di bawah permukaan laut yang terletak di luar laut teritorialnya sepanjang kelanjutan alamiah wilayah daratannya hingga pinggiran luar kontinen, atau hingga suatu jarak 200 mil laut dari garis pangkal darimana lebar laut teritorial diukur, dalam hal pinggiran luar tepi kontinen tidak mencapai jarak tersebut.
HAK NEGARA PANTAI ATAS LANDAS KONTINEN
hak eksplorasi dan eksploitasi
hak untuk memasang kabel dan pipa saluran
hak memberikan wewenang melakukan pengeboran pada Landas Kontinen
hak membangun dan mempergunakan pulau2 buatan, instalasi2 dan bangunan.
kewajiban untuk melakukanpembayaran atau sumbangan
kewajiban untuk menetapkan batas/ delimitasi landas kontinen
kewajiban untuk mencegah,mengurangi dan mengendalikan pencemaran lingkungan laut.
HAK DAN KEWAJIBAN NEGARA LAIN PADA LANDAS KONTINEN

Kebebasan berlayar dan penerbangan
Kebebasan untuk memasang kabel dan pipa bawah laut
Hak untuk menangkap ikan
Kebebasan untuk melakukan riset ilmiah
LAUT   LEPAS
Pasal 86 UNCLOS  menyatakan bahwa Laut Lepas merupakan semua bagian dari laut yang tidak termasuk dalam zona ekonomi eksklusif, dalam laut teritorial atau dalam perairan pedalaman suatu negara, atau dalam perairan kepulauan suatu negara kepulauan.
Prinsip hukum yang mengatur rezim laut lepas adalah prinsip kebebasan.
PENGERTIAN PRINSIP KEBEBASAN
Secara umum dan sesuai Pasal 87 Konvensi, kebebasan di laut lepas berarti bahwa laut lepas dapat digunakan oleh negara manapun.
Berdasarkan prinsip kebebasan, semua negara, apakah berpantai atau tidak, dapat mempergunakan laut lepas dengan syarat mematuhi ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh Konvensi atau ketentuan-ketentuan hukum internasional lainnya.
PRINSIP KEBEBASAN
Menurut Pasal 87 kebebasan2 tsb antara lain :
Kebebasan berlayar
Kebebasan penerbangan
Kebebasan untuk memasang kabel dan pipa bawah laut, dgn mematuhi ketentuan2 Bab VI Konvensi
Kebebasan untuk membangun pulau buatan dan instalasi2 lainnya yg diperbolehkan berdasarkan hukum internasional, dgn tunduk pada Bab VI
Kebebasan menangkap ikan dgn tunduk pada persyaratanyg tercantum dalam Sub Bab II
Kebebasan riset ilmiah, dgn tunduk pada Bab VI dan  XIII.
DASAR  DAN  LAHIRNYA PRINSIP KEBEBASAN
Dari zaman purbakala sampai bagian pertama Abad Menengah, pelayaran di laut adalah bebas bagi semua bangsa dan setiap orang.
Celcius dari Itali pd abad I menyatakan the sea like the air is common to all mankind.
Ulpian : the sea is open to everybody by nature.
NATUR YURIDIK LAUT LEPAS
Res Nullius
Sebagai Res Nullius, laut lepas adalah bebas karena tidak ada yang memilikinya. Teori ini mempunyai akibat yang negatif. Bila laut bukan merupakan milik suatu negara, maka kebebasan yang terdapat di laut tsb dapat mempunyai akibat-akibat yang ekstrim, misalnya suatu negara dapat memiliki laut tsb karena ia mempunyai kemampuan teknik untuk itu atau setidak-tidaknya berbuat semaunya di sana seolah-olah laut lepas itu merupakan miliknya.
NATUR YURIDIK LAUT LEPAS
Res Communis
berarti bahwa laut adalah milik bersama, karena itu negara-negara bebas menggunakannya.
Kalau laut milik bersama maka itu berarti bahwa laut lepas itu berada di bawah kedaulatan bersama negara-negara dan diatur melalui pengelolaan internasional. Tetapi kenyataannya bukan demikian.
NATUR YURIDIK LAUT LEPAS
Bila diterima gagasan bahwa tiap-tiap negara adalah pemilik sebagian laut lepas, ini dapat berarti bahwa tiap-tiap negara tersebut dapat menggunakan semaunya kebebasan-kebebasan di laut sehingga mengganggu negara-negara lain.

Solusi yg terbaik adalah menganggap laut lepas sebagai suatu domain publik internasional. Yang diutamakan adalah sifat kegunaan laut tersebut untuk kepentingan bersama masyarakat internasional. Jadi laut lepas itu tidak dapat dimiliki oleh siapapun tetapi dapat digunakan bersama untuk kepentingan anggota-anggota masyarakat internasional.
STATUS HUKUM KAPAL-KAPAL DI LAUT LEPAS
Dibedakan antara kapal-kapal publik dan kapal-kapal swasta. Di laut lepas, status ini didasarkan atas prinsip tunduknya kapal-kapal pada wewenang eksklusif negara bendera. Ini berarti tiap-tiap kapal harus mempunyai kebangsaan suatu negara, yang merupakan syarat agar kapal-kapal itu dapat memakai bendera negara tersebut.

PERBEDAAN ANTARA KAPAL-KAPAL PUBLIK dan KAPAL-KAPAL SWASTA
Perbedaan ini didasarkan atas bentuk penggunaan dan bukan atas kualitas pemilik kapal-kapal tersebut.

Kapal perang menurut Pasal 29 Konvensi :

kapal yg dimiliki oleh angkatan bersenjata suatu negara  yg memakai tanda-tanda luar yang menunjukkan ciri khusus kebangsaan kapal tersebut di bawah komando seorang perwira yang diangkat untuk itu oleh pemerintah negaranya dan yang namanya terdapat di dalam daftar dinas militer atau daftar serupa dan yang diawaki oleh awak kapal yang tunduk pada disiplin angkatan bersenjata reguler.
Wewenang Penuh Ketentuan-ketentuan Negara Bendera
Di laut lepas, semua kapal-kapal tunduk sepenuhnya pada peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan negara bendera. Suatu kapal yang memakai bendera suatu negara harus tunduk pada yurisdiksi eksklusif negara itu di laut lepas.
Kegunaan ketentuan di atas yaitu :
supaya di atas sebuah kapal terdapat suatu kesatuan hukum untuk menjamin ketertiban dan disiplin di atas kapal. Undang-undang negara bendera berlaku bagi semua orang yg terdapat di atas kapal, baik warga negara dari negara bendera maupun terhadap orang-orang asing.

Undang-undang negara bendera berlaku bagi semua perbuatan hukum yang terjadi di kapal atau bagi semua perbuatan pidana.

Bila terjadi pembunuhan di atas sebuah kapal, UU pidana negara benderalah yang berlaku.

Bila terjadi suatu transaksi walaupun antara orang-orang asing di atas kapal tersebut, juga undang-undang negara bendera yang berlaku (locus regit actum)
WEWENANG  TERITORIAL
Untuk membenarkan wewenang negara bendera ini, para ahli mencoba menghubungkannya dgn wewenang teritorial. Untuk tujuan ini kapal diasimilasikan dgn wilayah negara,jadi dalam hal ini kapal dianggap sebagai floating portion of the flag state yaitu bagian terapung wilayah negara bendera. Karena suatu negara mempunyai wewenang absolut terhadap wilayah, maka negara tsb mempunyai wewenang pula terhadap kapal2nya yg berlayar di laut lepas, karena kapal tsb dianggap bagian dr wilayah negara.

Tetapi prinsip ini tidak berlaku di semua tempat.Kapal2 swasta yg telah meninggalkan laut lepas dan masuk ke laut wilayah suatu negara, terhadapnya tidak lagi berlaku wewenang khusus negara bendera ttpi wewenang negara pantai. Jai asimilasi ini hanya dapat terjadi di laut lepas saja dan kalau sudah memasuki laut wilayah negara lain, kapal tsb harus tunduk pada ketentuan2 negara pantai.
Mengenai kapal perang dan kapal publik lainnya, secara umum dapat dikatakan bahwa baik dilaut lepasmaupun di laut wilayah, wewenang khusus negara bendera tetap berlaku, terutama kapal2 perang yg dianggap sebgi organ negara dan krn itu mempunyai kekebalan.
AKIBAT WEWENANG EKSKLUSIF NEGARA BENDERA
Wewenang negara bendera terhadap kapal2 yg mengibarkan benderanya bertujuan untuk menjamin ketertiban dan keamanan di laut lepas. Jadi adalah suatu keharusan supaya kapal2 di laut lepas mempunyai ikatan hukum dgn negara benderanya agar negara tsb melalui organ2 dan ketentuan2 hukumnya dapat mengawasi kapal2 tsb. Ikatan hukum ini dirumuskan dalam bentuk kebangsaan yg menghubungkan suatu kapal dgn suatu negara. Setelah suatu kapal mempunyai kebangsaan, maka negara ybs memberi izin kpd kapal tsb

untuk mengibarkan benderanya dan barulah sesudah itu kapal tsb dapat pula menikmati kebebasan2 di laut lepas.
Juga hal yg penting, bila suatu kapal sudah mempunyai kebangsaan, kapal tsb akan dapat dilindungi oleh negara bendera dan juga ikut menikmati ketentuan2 yg telah dibuat negara bendera dgn negara2 lain.
UNDANG-UNDANG PERIKANAN

Dalam Pasal 5 ayat 1 UU No. 31 Tahun 2004 dinyatakan bahwa wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia untuk penangkapan ikan dan/atau pembudiyaan ikan meliputi :
a. perairan Indonesia
b. Zona Ekonomi Eksklusif  Indonesia (ZEEI)
c.  Sungai, danau, rawa, dan genangan air lainnya yang dapat diusahakan serta lahan pembudiyaan ikan potensial di wilayah Republik Indonesia.

Menurut Pasal 5 ayat 2, Pengelolaan perikanan di luar wilayah pengelolaan Republik Indonesia sbgm dimaksud pada ayat 1 diselenggarakan berdasarkan peraturan perundang-undangan, persyaratan dan/atau standar internasional yang diterima secara umum.
Menyangkut pengaturan pengelolaan perikanan yg diatur dalam Pasal 6 ayat 1 UU No. 31 Tahun 2004 dinyatakan bahwa pengelolaan perikanan dalam wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia dilakukan untuk tercapainya manfaat yg optimal dan berkelanjutan, serta terjaminnya  kelestarian sumber daya ikan.

Menurut Pasal 6 ayat 2 : Pengelolaan perikanan untuk kepentingan penangkapan ikan dan pembudidayaan ikan harus mempertimbangkan hukum adat dan/atau kearifan lokal serta memperhatikan peran serta masyarakat.
Tuntutan UU Perikanan ini, memberikan peluang kpd masyarakat, baik perorangan maupun badan hukum untuk mengelola dan memanfaatkan wilyah perairan dalam bentuk usaha perikanan.

Prinsip Pengelolaan Perikanan Berbasis Masyarakat.
   Pelibatan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya perikanan merupakan suatu konsep yang diharapkan dapat mengangkat derajat masyarakat yang bermukim di sepanjang pantai dan pulau-pulau kecil, yang selama ini sangat kurang tersentuh  oleh pembangunan ekonomi, sehingga kehidupannya sangat memprihatinkan.
    De la Cruz mengatakan bahwa secara formal dan informal, pengelolaan perikanan berbasis kerakyatan diwujudkan dalam bentuk penyerahan hak milik (property rights) atas

sumber daya alam perikanan kpd masyarakat. Orang2 yang bukan anggota masyarakat itu, tidak lagi leluasa sbgm ketika sumber daya alam perikanan tsb masih tunduk di bawah rezim “milik bersama”.
Segenap nelayan yg menjadi anggota masyarakat pemilik sumber daya alam perikanan, selain berhak menggunakannya juga bertanggungjawab untuk melindunginya. Dengan dmk, kondisi akses terbuka atas sumber daya alam digantikan dgn kondisi pemilikan masyarakat yg jelas.

Komponen Pengelolaan Perikanan Berbasis Masyarakat 
    Ada 4 komponen dari pengelolaan perikanan berbasis kerakyatan yaitu :
    1. hak pakai (use rights)
    2. hak pertukaran (exchange rights)
    3.  hak pemerataan (distribution entitlements) serta
    4. skema pengelolaan dan wewenang (management and authoritative)

Hak pakai mencakup bukan hanya untuk menangkap ikan, ttpi jg utk maksud lain, spt pembuangan atau pemanfaatan sumber daya alam non hayati lainnya. Dgn hak pakai, maka orang lain yg bukan anggota masyarakat subyek hak pakai, disisihkan. Orang lain tsb, hanya boleh memanfaatkan sumber daya alam yg sudah dijadikan objek hak pakai, apb terlebih dahulu membayar kpd pengguna hak pakai.
Hak pertukaran berarti komunitas nelayan memegang kontrol thdp saluran distribusi hasil perikanan dan sistem pengadaan pasokan bagi


kebutuhan sarana produksi.
Hak pemerataan berarti bahwa dalam komunitas nelayan harus ada jaminan politik dan ekonomi yg memungkinkan terdistribusinya anugerah sumber daya alam perikanan secara merata.
Skema pengelolaan dan wewenang bermakna bahwa dalam masyarakat nelayan yg sudah ditetapkan sbgi subyek hak pakai, harus ada wadah yg berfungsi untuk menentukan sarana pengelolaan dan wewenang untuk menjamin kepatuhan dan ketertiban.
TATA CARA & SYARAT PENERBITAN SIKPI
Syarat penerbitan SIKPI menurut Pasal 21Permen Kelautan dan Perikanan No. 12 / 2007 :
a. pemohon telah memenuhi persyaratan sebgm dimaksud dalam Pasal 18.
b. pemohon telah membayar pungutan perusahaan perikanan (PPP) sesuai dgn peraturan perUUan yg berlaku yg dibuktikan dgn tanda bukti setor
c. Kapal telah dipasang transmitter atau sistem pemantau kapal perikanan
d. hasil pemeriksaan menunjukkan adanya kesesuaian antara fisik dan dokumen kapal.

Persyaratan penggunaan perizinan kapal pengangkut ikan tujuannya adalah : agar semua kapal perikanan pengangkut ikan benar2 layak sebagai kapal yang dapat dipertanggungjawabkan kelayakannya.
Penyelenggaraan Sistem Pemantauan Kapal Perikanan tujuannya adalah :
    a. meningkatkan efektivitas pengelolaan sumber daya ikan melalui pengendalian dan pemantauan terhadap kapal perikanan.
    b. meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan usaha perikanan yg dilakukan oleh perusahaan perikanan.


c. meningkatkan ketaatan kapal perikanan yg melakukan kegiatan penangkapan dan/atau pengangkutan ikan thdp ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
   d. memperoleh data dan informasi ttg kegiatan kapal perikanan dalam rangka pengelolaan sumber daya ikan secara bertanggungjawab dan berkelanjutan.
KEWAJIBAN PEMASANGAN TRANSMITTER
Untuk mencegah kapal perikanan yg beroperasi di wilayah perikanan Indonesia tidak melaporkan hasil ikan tangkapannya secara jujur, maka perlu dipasang suatu alat yg berfungsi sebgi alat pemantau kegiatan kapal, alat tsb  dinamakan alat transmitter.
Keberadaan alat canggih ini, sangat perlu utk melakukn pemantauan kapal perikanan yg beroperasi di wilayah perairan Indonesia, termasuk di dalamnya mengenai jumlah hasil tangkapannya.

KEWAJIBAN PENGGUNA TRANSMITTER :
    a. memperlakukan transmitter sesuai dgn fungsi teknis dan fungsi komunikasi penyampaian data kegiatan penangkapan dan/atau pengangkutan ikan.
    b. memlihara lingkungan transmitter agar dapat berfungsi melakukan pengiriman dan /atau penerimaan data
    c. mematuhi petunjuk teknis ttg pengoperasian transmitter yg ditetapkan oleh Dirjen
VERIFIKASI KAPAL PERIKANAN
Pelanggaran kapal perikanan thdp semua ketentuan yg ada kaitannya dgn proses usaha penangkapan ikan dan pengangkutan ikan merupakan sebuah tindakan kriminal. Oleh karena itu, sebelum dijatuhkan sanksi kpd pemilik kapal perikanan tsb, perlu dilakukan suatu verifikasi kapal perikanan yg di-ad hock (kapal perikanan yg melanggar hukum). Dalam Pasal 12 Kepdirjen Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan No : Per 19 /DJ-P2SPDK/2008 dinyatakan bahwa thdp kapal perikanan hasil

Operasi  Kapal Pengawas Perikanan yg di-ad hock kepelabuhan, dilakukan prosedur sbb :
a. Nakhoda kapal pengawas perikanan menyerahkan kapal yg diduga melakukn pelanggaran kpd pengawas perikanan setempat dgn berita acara serah terima.
b. Pengawas perikanan sebgm dimaksud pada huruf a, melakukan verifikasi dokumen fisik kapal, alat tangkap yg dipergunakan, dan komponen lainnya yg terkait.

c. hasil verifikasi dan pengecekan sebgm dimaksud dalam huruf b, dituangkan ke dalam form hasil verifikasi.
d. thdp hasil verifikasi sebgm dimaksud dalam huruf c, dilakukan analisis yuridis dan teknis.


PENGGUNAAN KAPAL ASING DENGAN CARA USAHA PATUNGAN
Salah satu  upaya yg dilakukan adalah memberi peluang kpd kapal asing untuk melakukan negosiasi dgn Pemerintah menyangkut mengenai keberadaan kapal2 asing tsb, dgn memberikan opsi kpd mereka dgn cara  yaitu :
a. penyertaan modal
b. cara beli angsur
c.  Lisensi
 Pemberian kesempatan kpd orang atau badan hukum asing untuk menangkap ikan di ZEEI dgn cara lisensi dilakukan dengan syarat:



 a. telah diadakan perjanjian bilateral antara Pemerintah R.I dgn Pemerintah Negara Asing.
 b. kebangsaan kapal perikanan yang dipergunakan sama dengan kebangsaan orang atau badan hukum asing
 c. terdapat surplus jumlah tangkapan yang diperbolehkan ( JTB) yang akan ditetapkan tersendiri dengan KepMen
MODUS PENCURIAN IKAN
KAPAL ASING
Pemilik kapal dan perusahaan poerator berhub dgn “mafia” internasional dan “mafia” Indonesia.
2. Mencari surat izin penangkapan ikan (SIPI) secara ilegal dgn cara mencari mitra perusahaan Indonesia yg memiliki surat izin usaha perikanan (SIUP)
3. Sejumlah kapal yang memiliki SIPI sengaja beroperasi secara berkelompok.Padahal, sebgn kapal2 itu tidak memiliki SIPI.

4. Mengeruk ikan sebanyak-banyaknya dgn segala cara termasuk dgn alat tangkap pukat harimau (trawl)
5. Memanipulasi nama nakhoda asing menjadi nama Indonesia.
6. Melakukan negosiasi di laut dan menyuap petugas di kapal patroli.

KAPAL  DOMESTIK
1. Memperkecil data bobot kapal ikan agar memperoleh subsidi bahan bakar minyak dan kemudahan pengurusan prosedur izin dari daerah.
2. Mengeruk ikan sebanyak-banyaknya dgn segala cara, termasuk menggunakan pukat harimau (trawl)
3. Melanggar ketentuan wilayah tangkapan perikanan  (fishing ground)
4. Saat kapal ilegal beroperasi, petugas kongkalikong tidak melakukan patroli.
FUNGSI PROTEKTIF PIDANA PERIKANAN
Penegakan hukum pidana suatu negara spt Indonesia mencerminkan kewibawaan negara, secara nasional sebgi bangsa berdaulat ataupun di mata internasional. Negara Indonesia akan kehilanganharga dirinya jika pelaku tindak pidana perikanan tidak dikenai hukuman aatu hanya diberi sanksi yang ringan.
Hukum pidan Indonesia mengemban misi menjaga marwah atau harga diri bangsa dan martabat negara Indonesia.Terutama thdp pelaku tindak pidana perikanan yg dilakukan WNA yg berdampak multi dimensi, seperti

kerusakan lingkungan hidup, hilangnya biota laut, dan kerugian ekonomis.
Kewibawaan hukum harus ditingkatkan untuk dapat mengembalikan arah pendulum kedaulatan hukum kepada rakyat dan nelayan tradisional yg menjadi korban tindak pidana perikanan karena illegal fishing yg dilakukan WNA berdampak serus secara sosial ekonomi, ekologi dan kewibawaan negara.
Ketegasan untuk menenggelamkan kapal ilegal merupakan bagian dari upaya pemberian sanksi berdimensi efek jera bagi kapal perikanan ilegal

berbendera asing sesuai Pasal 69 ayat 4 UU Perikanan.
*** Tindakan penenggelaman kapal berbendera asing secara yuridis harus berdasarkan bukti permulaan yg cukup adanya tindak pidana, tidak memiliki Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI), serta nyata-nyata menangkap dan/atau mengangkut ikan ketika memasuki wilayah pengelolaan Indonesia. (Oleh Artidjo Alkostar, Kompas 5 des 2014)

0 komentar: