Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase


Pengertian & Pengaturan Hak Ingkar
Hak ingkar adalah:
Hak dari para pihak yang bersengketa untuk menolak salah satu atau lebih arbiter yang berdasarkan bukti-bukti yang kuat terdapat alasan-alasan yang meragukan objektivitas dalam memberikan putusan

Dasar hukum: 
Pasal 22 – 26 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Alasan Diajukan Hak Ingkar
1.Bilamana terbukti adanya hubungan kekeluargaan.
2. Bilamana terbukti adanya hubungan keuangan.
3. Bilamana terbukti adanya hubungan pekerjaan.

Terhadap arbiter yang diangkat oleh para pihak (tidak dengan penetapan pengadilan) maka hak ingkar oleh salah satu atau kedua belah pihak hanya dapat diajukan jika alasan-alasan yang potensial menyebabkan tidak objektifnya arbiter baru diketahui setelah pengangkatan arbiter.
Pengajuan Hak Ingkar
Tentang kepada siapa hak ingkar diajukan, bergantung pada:

1. Hak ingkar terhadap arbiter secara umum:
Secara umum hak ingkar dapat diajukan kepada arbiter ybs, yakni arbiter yang diduga akan bertindak tidak objektif dalam memberi putusannya.

2. Hak ingkar terhadap arbiter yang diangkat oleh Ketua Pengadilan Negeri:

Adakalanya arbiter diangkat oleh Ketua PN tidak kompoten. Terhadap arbiter ini maka hak ingkar diajukan kepada Pengadilan Negeri yang mengangkat arbiter tsb.

Cara Pengajuan Hak Ingkar
UU mensyaratkan agar suatu hak ingkar diajukan dengan cara:

* Harus diajukan secara tertulis.
* Diajukan baik terhadap pihak lawan 
     maupun terhadap pihak arbiter yang 
     bersangkutan.
* Diajukan haruslah dengan menyebutkan 
     alasan tuntutan hak ingkar.


Arti Putusan Arbitrase asing
Pasal 1 ayat (1) Konvensi NY memberi pengertian putusan arbitrase asing sebagai:

“Putusan arbitrase yang dibuat di wilayah negara lain dari negara tempat dimana diminta pengakuan dan pelaksanaan eksekusi atas putusan arbitrase yang bersangkutan”.

Syarat utama dari putusan arbitrase asing  putusan arbitrase dibuat di luar dari negara yang diminta pengakuan dan eksekusi.

Asas Resiprositas
Pada prinsipnya pengakuan & pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase asing menganut asas resiprositas (reciprocity).
Resiprositas sendiri berarti “pembalasan = tindakan balasan” atau “timbal balik” atau saling menguntungkan.
Dalam KNY 1958, asas resiprositas ini tercantum dalam Pasal I ayat (3).
Konsekuensinya, Pasal I ayat (3) dari KNY ini tidak dapat diberlakukan secara unilateral.
Penerapan asas resiprositas ini harus secara tegas dinyatakan suatu negara pada saat negara ybs melakukan ratifikasi.
Sikap Indonesia sendiri secara mutlak mempertahankan asas resiprositas ini dan hal ini secara tegas dicantumkan dalam Lampiran Keppres No.34 Tahun 1981 & kemudian diulang kembali dalam UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase pada Pasal 66.


Ruang Lingkup Persengketaan Arbitrase Asing
KNY 1958 memberi hak kepada setiap negara peserta konvensi untuk membatasi perselisihan di bidang hukum tertentu saja.
Pasal I ayat (3) KNY 1958 membatasi perselisihan di bidang hukum perniagaan dan hal ini lebih dipertegas lagi dalam bagian “Note Konvensi”.
Dalam Keppres No.34 Tahun 1981, Indonesia membatasi pengakuan & pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase asing dimana penerapannya hanya terbatas pada sengketa di bidang perdagangan. 
Hal yang sama lebih dipertegas lagi dalam UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase Pasal 66.
Kompetensi Absolut

Konvensi New York 1958 telah menempatkan status arbitrase sebagai forum atau mahkamah yang memiliki kewenangan absolut dalam menyelesaikan & memutus sengketa.

Pasal II ayat (3) KNY memberi larangan keras kepada badan peradilan resmi (litigasi) bagi setiap negara peserta konvensi jika ternyata para pihak telah sepakat dan menuangkan kesepakatan tsb dalam perjanjian mengenai perselisihan mereka cara penyelesaiannya dilakukan melalui jalur arbitrase. 
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1990
Bentuk Perma
Bentuk Perma sangat sederhana karena hanya terdiri dari: 9 pasal yang dibagi dalam 7 bab dengan perincian sebagai berikut:
Bab I berisi ketentuan umum yang terdiri dari 3 pasal. Bab ini berisi asas-asas landasan penerapan pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase asing.
Bab II mengatur tentang badan peradilan mana yang berwenang memberikan exequatur terhadap putusan arbitrase asing dan hanya terdiri dari satu pasal saja. (Psl 4).
Bab III berisi ketentuan tentang tata cara permohonan exequatur dan hanya terdiri dari satu pasal saja (Psl 5).
Bab IV terdiri dari Pasal 6 yang mengatur tentang tata cara sita & pelaksanaan eksekusi. 
Bab V terdiri dari Pasal 7 yang mengatur tentang biaya eksekusi putusan arbitrase asing.
Bab VI, mengatur tentang kemungkinan  pengaturan lebih lanjut mengenai hal-hal yang belum diatur dalam Perma.
Bab VII hanya berisi pernyataan tentang saat mulai berlakunya Perma yakni tanggal 1 Maret 1990.

Asas-Asas Perma No. 1 Tahun 1990
Asas Executorial Kracht (Psl 2) :
Menurut pasal ini, putusan arbitrase asing “disamakan” dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Setiap putusan arbitrase asing dapat diajukan permintaan eksekusinya di Indonesia: (Harus diakui (recognize) keabsahannya & Harus dijalankan eksekusinya (enforcement))
Asas Resiprositas:
Asas ini merupakan suatu asas fundamental dalam KNY dan diatur dalam Pasal I ayat (3) dan diadopsi sepenuhnya dalam Perma & dirumuskan dalam Pasal 3 ayat (1) Perma.




0 komentar: