Putusan Arbitrase & Upaya Hukum

Pendapat arbitrase:

  * Diajukan oleh para pihak;
  * Menyangkut suatu masalah atau hubungan 
                hukum tertentu dari suatu perjanjian tanpa 
                adanya suatu sengketa;
  * Diberikan oleh lembaga arbitrase;
  * Sifatnya mengikat para pihak.


Konsekuensi hukumnya:

Para pihak terikat sepenuhnya terhadap pendapat tersebut sebagaimana para pihak terikat atas suatu kontrak. 

Oleh karena itu bila terjadi salah satu pihak melanggar pendapat tersebut maka sama artinya pihak tersebut telah melanggar kontrak atau telah melakukan wanprestasi.


Dasar hukum dari pendapat arbitrase ini ditemukan dalam Pasal 52 UU No. 30 Tahun 1999.

Terhadap pendapat arbitrase ini maka menurut ketentuan yang ada “tidak tersedia banding” atau upaya perlawanan lain dalam bentuk apapun (Pasal 53 UU No. 30 Tahun 1999).

Contoh pendapat arbitrase:
* Penafsiran terhadap hal-hal yang kurang jelas dari suatu
        kontrak.
* Penambahan/perubahan dari suatu kontrak untuk 
       dilakukan penyesuaian.

Berbeda dengan pendapat yang mengikat (binding opinion) tsb adalah apa yang lazim disebut “putusan arbitrase”.

Putusan arbitrase diberikan terhadap suatu sengketa yang terjadi di antara para pihak dalam suatu kontrak sedangkan pendapat arbitrase diberikan tanpa ada sengketa. 
Jangka Waktu Putusan Arbitrase
Dalam UU Arbitrase, tidak ada jangka waktu yang tegas kapan suatu putusan arbitrase selambat-lambatnya harus diputuskan.

Akan tetapi, apabila suatu pemeriksaan oleh arbitrase telah selesai, maka pemeriksaan segera ditutup.

Antara penutupan pemeriksaan dengan pengucapan suatu putusan tidak boleh melebihi jangka waktu 30 hari (Pasal 57 UU No. 30 Tahun 1999).

Namun setelah putusan masih ada tindakan hukum lain yang jangka waktunya diatur secara ketat.

Keseluruhan proses putusan & setelah putusan arbitrase dengan jangka waktunya dapat digambarkan sebagai berikut:


Keterangan:
1 : Pemeriksaan mulai dilakukan
2 : Pemeriksaan selesai
3 : Putusan diucapkan
4 : Putusan diterima oleh para pihak
5 : Koreksi, pengurangan & penambahan thdp putusan
6 : Pendaftaran putusan di PN
6a : Pendaftaran permohonan eksekusi
6b : Perintah pelaksanaan putusan
7 : Permohonan pembatalan putusan ke PN
8 : Putusan PN atas permohonan pembatalan putusan 
9 : Berkas pengajuan banding atas putusan pembatalan diterima 
                oleh MA
10 : Putusan MA terhadap banding (final & mengikat).
Isi Putusan
Putusan arbitrase pada prinsipnya sama dengan putusan yang dikeluarkan oleh lembaga peradilan biasa.

Putusan arbitrase memberikan syarat minimum terhadap isi putusan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 54 UU No. 30 Tahun 1999.

Terkait dengan tanda tangan dari arbiter atau majelis arbiter yang tidak ditanda tangani oleh salah satu arbiter dengan alasan ybs sakit atau meninggal dunia, tidak mempengaruhi kekuatan berlakunya putusan arbitrase tersebut. 

Semakin rinci suatu putusan, semakin baik karena putusan tersebut dapat membawa kejelasan & kepastian hukum bagi para pihak.

Adapun isi dari putusan arbitrase sbb:

1. Judul:
(a) Peraturan arbitrase yang digunakan
(b) Nama penuh dari pemohon (claimant) & termohon 
                  (respondent).

2. Recitals (Mengingat, Menimbang):
(a) Perjanjian, pokok masalah dalam perjanjian & 
            tanggal.
(b) Pengacuan pada klausula arbitrase, pengangkatan 
                  arbiter & penerimaan pengangkatan oleh arbiter.
(c) Pengungkapan sengketa yang telah terjadi.
(d) Perincian dari sengketa.
(e) Langkah-langkah utama yang akan diambil dalam 
                  proses arbitrase (bila mungkin disertai tanggal).


(f) Pengacuan kepada beberaapa masalah penting,    
                 seperti masalah biaya.
(g) Tanggal-tanggal yang akan digunakan untuk 
                  pemeriksaan lisan (hearing), inspeksi lapangan 
                  (site inspection), atau pemeriksaan hanya 
                  dilakukan terhadap dokumen semata-mata.

3. Permasalahan & Persengketaan:
(a) Formulasi sengketa & klaim yang diajukan kepada 
                  arbitrase.
(b) Summary dari persengketaan.


(c) Pengacuan kepada saksi-saksi kunci & bukti-bukti 
                  penting.

4. Preamble:
Berisi catatan-catatan setelah mendengar, membaca & 
            mempertimbangkan bukti lisan maupun tertulis, 
            permohonan & tanggal dari para pihak & ulasan-
            ulasan dari para pengacara para pihak.


5. Penemuan, Kesimpulan & Alasan-alasan dari 
         Arbitrase:
(a) Penemuan-penemuan fakta oleh arbitrase & 
      alasan-alasannya.
(b) Kesimpulan-kesimpulan arbitrase terhadap 
      permasalahan hukum yang ada, dan penerapannya  
                  terhadap fakta yang ditemukan.

6. Award (Amar Putusan):
(a) Jumlah & instruksi pembayaran & bunga yang 
                  layak.
(b) Ganti rugi berupa pelaksanaan perjanjian jika 
                  dianggap layak.
(c) Tenggang waktu pembayaran ganti rugi atau 
                  pelaksanaan isi putusan arbitrase.
(d) Pernyataan bahwa putusan arbitrase tsb adalah 
                  penyelesaian sengketa yang menyeluruh & final
(e) Biaya-biaya arbitrase & pelaksanaan eksekusi jika
                 diperlukan.

7. Formalitas:
(a) Pembacaan putusan & publikasi yang layak.
(b) Tanda tangan arbiter.
(c) Pemberitahuan putusan kepada para pihak.
Sistem Pengambilan Putusan Dalam Arbitrase
Dalam hal sistem pengambilan keputusan pada arbitrase dikenal dengan cara yaitu: sistem musyawarah, sistem mayoritas, sistem perwasitan dan sistem kombinasi antara mayoritas & perwasitan.

Sistem Musyawarah:
Sistem ini yang paling ideal karena arbiter secara bulat menghasilkan suatu putusan yang utuh dan karenanya sistem ini harus diupayakan terlebih dahulu dalam mengambil putusan. 


Sistem Mayoritas:
Sistem mayoritas (mayority) dilakukan manakala ada perbedaan paham antara masing-masing pihak arbiter. 

Dalam hal sistem mayoritas yang dijalankan maka para arbiter akan menggunakan sistem one man one vote.

Kelemahan sistem ini adalah tidak menghasilkan suatu putusan jika semua arbiter mempunyai pendapat yang berbeda satu sama lain.

Sistem Perwasitan:
Sistem perwasitan (umpire) dimaksudkan jika terjadi perbedaan pendapat di antara pihak arbiter, maka salah satu di antaranya yang menjadi pemutus.

Dalam hal ini yang menjadi pemutus adalah arbiter ketiga karena arbiter ketiga ini dianggap yang paling netral oleh karena arbiter ketiga ini tidak ditunjuk oleh salah satu pihak yang bersengketa.

Sistem Kombinasi Mayoritas & Perwasitan:
Dalam sistem ini yang terutama dianut adalah sistem mayoritas.

Apabila dengan sistem mayoritas tidak menghasilkan keputusan maka untuk menghindari terjadinya deadlock, dipakailah sistem perwasitan.

Sistem kombinasi ini yang paling banyak digunakan dalam aturan dari lembaga arbitrase, misalnya UNCITRAL dalam Pasal 31 ayat (2).
Syarat-syarat Putusan Arbitrase
Suatu putusan arbitrase haruslah memuat data, analisis, kesimpulan & amar putusan yang sejelas mungkin agar putusannya tidak kabur.

Selain itu, bahasa yang digunakan harus jelas, tidak terlalu berliku-liku sebagaimana biasanya suatu putusan pengadilan di Indonesia.

Bilamana terdapat kekaburan dalam suatu putusan, merupakan alasan bagi para pihak untuk meminta dilakukannya penambahan atau pengurangan terhadap putusan tersebut (Pasal 58 UU No.30 Tahun 1999).

Di samping itu, terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dalam putusan arbitrase yaitu:

(1) Putusan tidak boleh melebihi dari apa yang     
                 diminta oleh para pihak.
(2) Putusan yang berlandaskan pada keadilan &
                  kepatutan semata-mata (et aequo et bono).
(3) Putusan yang diambil secara voting jika tidak     
                  semua arbiter menyetujui isi putusan.

Ad. 1. Putusan melebihi yang diminta oleh para pihak:

Dalam Pasal 58 UU No. 30 Tahun 1999 & penjelasan dari pasal tersebut dengan tegas menyatakan bahwa “tidak memperkenankan” arbiter untuk memutus suatu perkara melebihi apa yang diminta oleh para pihak.

Hal ini tentunya sejalan dengan prinsip yang berlaku secara umum dalam suatu sistem peradilan perdata.

Ad.2. Putusan et aequo et bono:

Pada prinsipnya putusan arbitrase hanyalah didasarkan pada hukum semata-mata. Jadi arbiter tidak diperkenankan untuk memutuskan suatu perkara dengan dalih semata-mata berdasarkan keadilan & kepatutan.

Arbiter baru diperkenankan jika memang diminta dengan tegas oleh para pihak & juga sepanjang aturan hukum yang digunakan bukan merupakan hukum yang bersifat memaksa (mandatory law, dwingend recht). 




Ad.3. Putusan yang diambil secara voting:

Pasal 54 ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999 menyebutkan bahwa dalam hal terjadi perbedaan pendapat antara arbiter, maka pendapat masing-masing arbiter harus disebutkan secara eksplisit dalam putusan arbitrase yang bersangkutan.

Dengan demikian dimungkinkan untuk suatu putusan diambil secara voting bilamana terpenuhi persyaratan sesuai yang ditetapkan oleh uu.
Kekuatan Mengikat Putusan Arbitrase
Putusan arbitrase bersifat “final & mengikat”. Dalam arti tidak ada banding ataupun kasasi (Pasal 60 UU Arbitrase).

Upaya perlawanan hanya dapat dilakukan kepada ketua Pengadilan Negeri bilamana:
(1) Surat atau dokumen yang diajukan dalam 
                  pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan diakui 
                  palsu atau dinyatakan palsu.
(2) Setelah putusan diambil, ditemukan semacam 
                  “novum” yakni ditemukan dokumen yang bersifat
                   menentukan, yang disembunyikan oleh pihak 
                   lawan.

(3) Putusan arbitrase diambil dari hasil tipu muslihat    
                  yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam 
                  pemeriksaan sengketa.

Upaya perlawanan ini bukan merupakan banding terhadap putusan arbitrase melainkan suatu upaya hukum luar biasa.

Oleh karena itu putusan arbitrase adalah putusan pertama & terakhir (final and binding). 
Koreksi, Penambahan, Pengurangan & Pembatalan Putusan Arbitrase
Koreksi atas putusan arbitrase berbeda dengan pembatalan atas putusan arbitrase.

Koreksi atas putusan arbitrase  suatu hak kepada para pihak untuk mengajukan pembetulan-pembetulan terhadap suatu putusan arbitrase.

Koreksi hanya dibenarkan bilamana:
(1) Dilakukan dalam jangka waktu 14 hari setelah 
                  putusan  diterima. 

(2) Hanya dapat dilakukan atas kekeliruan 
                 administratif dalam putusan arbitrase, seperti 
                 kekeliruan atas penulisan nama & alamat para 
                 pihak atau arbiter.

Pembatalan atas putusan  suatu upaya hukum yang diberikan kepada para pihak yang bersengketa untuk meminta kepada PN agar suatu putusan arbitrase dibatalkan, baik sebagian isi putusan ataupun terhadap seluruh isi putusan. 

Di samping upaya berupa koreksi & pembatalan, para pihak dapat juga mengajukan upaya berupa penambahan atau pengurangan terhadap suatu putusan arbitrase.

Penambahan & pengurangan terhadap putusan arbitrase diberikan dalam jangka waktu 14 hari setelah putusan diterima oleh para pihak.

Konsekuensi Hukum dari Pembatalan Putusan Arbitrase
Konsekuensi hukum terhadap putusan arbitrase yang telah dibatalkan oleh ketua PN dapat berupa:

(1) Batal seluruh atau sebagian isi putusan. Bila hal ini  terjadi maka harus dengan tegas ditentukan dalam pembatalan putusan tsb oleh ketua PN.

(2) Ketua PN dapat memutuskan bahwa perkara tsb diperiksa kembali oleh: arbiter yang sama, arbiter  yang lain atau tidak mungkin lagi diselesaikan melalui arbitrase.
Upaya Banding terhadap Putusan Pembatalan
Pasal 72 ayat (4) UU Arbitrase menyatakan bahwa:
“terhadap putusan PN dapat diajukan permohonan banding ke MA yang memutus tingkat pertama & terakhir”.

Dengan demikian upaya banding terhadap pembatalan putusan arbitrase yang diterima sepenuhnya, diterima sebagian ataupun ditolak oleh ketua PN dapat dilakukan oleh para pihak kepada Mahkamah Agung & harus dilakukan secara tertulis.
Jangka Waktu Pembatalan atau Banding
Jangka waktu untuk melakukan pembatalan putusan arbitrase tidak ditentukan sama sekali, sehingga dengan demikian dapat ditafsirkan bahwa jangka waktu tsb sebenarnya tidak terbatas.

Namun demikian putusan ketua PN untuk permohonan permohonan pembatalan tsb haruslah diputuskan dalam jangka waktu paling lambat 30 hari sejak permohonan diterima.

Demikian juga tidak terdapat ketentuan tentang batasan jangka waktu untuk mengajukan banding ke MA oleh para pihak yang tidak puas terhadap putusan pembatalan yang dilakukan oleh ketua PN.

Yang ada hanya jangka waktu bagi MA untuk memberikan keputusan banding yang diajukan paling lambat 30 hari sejak diterimanya permohonan banding oleh MA.
Kewenangan Badan Peradilan Umum
Secara universal dalam hubungan dengan putusan arbitrase, kewenangan badan pengadilan umum pada umumnya adalah:

(a) Memeriksa para saksi.
(b) Menguasai alat-alat bukti.
(c) Menjual/mengalihkan barang-barang yang 
          berhubungan dengan proses arbitrase.
(d) Pemberian putusan sela.
(e) Mengangkat kurator (untuk mengelola aset-aset 
          sengketa) 

(f) Membuat perintah yang berhubungan dengan aset 
          untuk:
(1) Membuat atau melakukan inspeksi, pemotretan & menahannya.
(2) Mengambil sampel, melakukan observasi & 
      eksperimen terhadap aset sengketa, dll. 
Putusan Sela
Selain putusan akhir dari suatu arbitrase, putusan sela dapat pula dimintakan bilamana memenuhi alasan-alasan yang diperkenankan oleh uu.

Alasan yang dapat dijadikan dasar untuk memohonkan putusan sela seperti: untuk efektif & efisiennya pelaksanaan putusan arbitrase atau untuk mengatur ketertiban jalannya pemeriksaan.

Contoh putusan sela yakni: penetapan sita jaminan, perintah penitipan barang kepada pihak ketiga, perintah penjualan barang yang mudah rusak (Pasal 32 ayat (1) UU Arbitrase).


TERIMA KASIH

0 komentar: